Amirul Mukminin Abu Bakar ash-Shidiq.ra
Abu
Bakar dilahirkan di kota Mekkah dari keturunan Bani Tamim (Attamimi),
sub-suku bangsa Quraisy. Beberapa sejarawan Islam mencatat ia adalah
seorang pedagang, hakim dengan kedudukan tinggi, seorang yang terpelajar
serta dipercaya sebagai orang yang bisa menafsirkan mimpi.
Ketika
Muhammad menikah dengan Khadijah binti Khuwailid, ia pindah dan hidup
bersama Abu Bakar. Saat itu Muhammad menjadi tetangga Abu Bakar. Sama
seperti rumah Khadijah, rumahnya juga bertingkat dua dan mewah. Sejak
saat itu mereka berkenalan satu sama lainnya. Mereka berdua berusia
sama, pedagang dan ahli berdagang.
Istrinya Qutaylah binti Abdul Uzza tidak menerima Islam sebagai agama sehingga Abu Bakar menceraikannya. Istrinya yang lain, Um Ruman, menjadi Muslimah. Juga semua anaknya kecuali 'Abd Rahman bin Abu Bakar, sehingga ia dan 'Abd Rahman berpisah.
Sebagaimana yang juga dialami oleh para pemeluk Islam pada masa awal. Ia juga mengalami penyiksaan yang dilakukan oleh penduduk Mekkah yang mayoritas masih memeluk agama nenek moyang mereka. Namun, penyiksaan terparah dialami oleh mereka yang berasal dari golongan budak. Sementara para pemeluk non budak biasanya masih dilindungi oleh para keluarga dan sahabat mereka, para budak disiksa sekehendak tuannya. Hal ini mendorong Abu Bakar membebaskan para budak tersebut dengan membelinya dari tuannya kemudian memberinya kemerdekaan.
Ketika peristiwa Hijrah, saat Nabi Muhammad SAW pindah ke Madinah (622 M), Abu Bakar adalah satu-satunya orang yang menemaninya. Abu Bakar juga terikat dengan Nabi Muhammad secara kekeluargaan. Anak perempuannya, Aisyah menikah dengan Nabi Muhammad beberapa saat setelah Hijrah.
Selama masa sakit Rasulullah SAW saat menjelang ajalnya, dikatakan bahwa Abu Bakar ditunjuk untuk menjadi imam salat menggantikannya, banyak yang menganggap ini sebagai indikasi bahwa Abu Bakar akan menggantikan posisinya. Segera setelah kematiannya, dilakukan musyawarah di kalangan para pemuka kaum Anshar dan Muhajirin di Madinah, yang akhirnya menghasilkan penunjukan Abu Bakar sebagai pemimpin baru umat Islam atau khalifah Islam pada tahun ((632)) M.
Apa yang terjadi saat musyawarah tersebut menjadi sumber perdebatan. Penunjukan Abu Bakar sebagai khalifah adalah subyek kontroversial dan menjadi sumber perpecahan pertama dalam Islam, dimana umat Islam terpecah menjadi kaum Sunni dan Syi'ah. Di satu sisi kaum Syi'ah percaya bahwa seharusnya Ali bin Abi Thalib (menantu nabi Muhammad) yang menjadi pemimpin dan dipercayai ini adalah keputusan Rasulullah SAW sendiri sementara kaum sunni berpendapat bahwa Rasulullah SAW menolak untuk menunjuk penggantinya. Kaum sunni berargumen bahwa Muhammad mengedepankan musyawarah untuk penunjukan pemimpin.sementara muslim syi'ah berpendapat bahwa nabi dalam hal-hal terkecil seperti sebelum dan sesudah makan, minum, tidur, dll, tidak pernah meninggal umatnya tanpa hidayah dan bimbingan apalagi masalah kepemimpinan umat terahir. Banyak hadits yang menjadi rujukan dari kaum Sunni maupun Syi'ah tentang siapa khalifah sepeninggal Rasulullah saw, serta jumlah pemimpin islam yang dua belas. Terlepas dari kontroversi dan kebenaran pendapat masing-masing kaum tersebut, Ali sendiri secara formal menyatakan kesetiaannya (berbai'at) kepada Abu Bakar dan dua khalifah setelahnya (Umar bin Khattab dan Usman bin Affan). Kaum sunni menggambarkan pernyataan ini sebagai pernyataan yang antusias dan Ali menjadi pendukung setia Abu Bakar dan Umar. Sementara kaum syi'ah menggambarkan bahwa Ali melakukan baiat tersebut secara pro forma, mengingat ia berbaiat setelah sepeninggal Fatimah istrinya yang berbulan bulan lamanya dan setelah itu ia menunjukkan protes dengan menutup diri dari kehidupan publik.
Segera setelah suksesi Abu Bakar, beberapa masalah yang mengancam persatuan dan stabilitas komunitas dan negara Islam saat itu muncul. Beberapa suku Arab yang berasal dari Hijaz dan Nejed membangkang kepada khalifah baru dan sistem yang ada. Beberapa di antaranya menolak membayar zakat walaupun tidak menolak agama Islam secara utuh. Beberapa yang lain kembali memeluk agama dan tradisi lamanya yakni penyembahan berhala. Suku-suku tersebut mengklaim bahwa hanya memiliki komitmen dengan Nabi Muhammad SAW dan dengan kematiannya komitmennya tidak berlaku lagi. Berdasarkan hal ini Abu Bakar menyatakan perang terhadap mereka yang dikenal dengan nama perang Ridda. Dalam perang Ridda peperangan terbesar adalah memerangi "Ibnu Habib al-Hanafi" yang lebih dikenal dengan nama Musailamah Al-Kazab (Musailamah si pembohong), yang mengklaim dirinya sebagai nabi baru menggantikan Nabi Muhammad SAW. Musailamah kemudian dikalahkan pada pertempuran Akraba oleh Khalid bin Walid.
Setelah menstabilkan keadaan internal dan secara penuh menguasai Arab, Abu Bakar memerintahkan para jenderal Islam melawan kekaisaran Bizantium dan Kekaisaran Sassanid. Khalid bin Walid menaklukkan Irak dengan mudah sementara ekspedisi ke Suriah juga meraih sukses.
Abu Bakar juga berperan dalam pelestarian teks-teks tertulis Al Qur'an. Dikatakan bahwa setelah kemenangan yang sangat sulit saat melawan Musailamah dalam perang Ridda, banyak penghafal Al Qur'an yang ikut tewas dalam pertempuran. Umar lantas meminta Abu Bakar untuk mengumpulkan koleksi dari Al Qur'an. oleh sebuah tim yang diketuai oleh sahabat Zaid bin Tsabit, mulailah dikumpulkan lembaran-lembaran Al-quran dari para penghafal Al-Quran dan tulisan-tulisan yang terdapat pada media tulis seperti tulang, kulit dan lain sebagainya,setelah lengkap penulisan ini maka kemudian disimpan oleh Abu Bakar. setelah Abu Bakar meninggal maka disimpan oleh Umar bin Khaththab dan kemudian disimpan oleh Hafsah, anak dari Umar dan juga istri dari Nabi Muhammad SAW. Kemudian pada masa pemerintahan Usman bin Affan koleksi ini menjadi dasar penulisan teks al Qur'an yang dikenal saat ini.
Abu Bakar meninggal pada tanggal 23 Agustus 634 di Madinah karena sakit yang dideritanya pada usia 61 tahun. Abu Bakar dimakamkan di rumah putrinya Aisyah di dekat masjid Nabawi, di samping makam Nabi Muhammad.
sahabat
Rasulullah SAW yang bernama Abu Bakar Ash-Shiddiq RA. Yang dari awal
kehidupannya memang telah mencirikan pribadi yang baik dalam
kehidupannya. Seperti pernyataannya ketika ia di tanya apakah pernah
meminum khomr (minuman keras); ”Apakah engkau pernah meminum khomr di
masa jahiliyah?” Abu Bakar Ash-Shiddiq menjawab: “A’udzubillah (aku
berlindung kepada Allah)”. Kemudian ia di tanya lagi, “Kenapa?”. Abu
Bakar menjawab: “Aku menjaga dan memelihara muru’ah-ku (kehormatanku),
apabila aku minum khomr, maka hal itu akan menghilangkan kehormatanku.”
Sosok dan karakter Abu Bakar Ash-Shiddiq
Abdullah ibn Abi Quhafah ibn Amir ibn Ka`ab, lahir di Makkah dan berasal dari kabilah Bani Tamim. Ia dikenal dengan nama Abu Bakar dan mendapat julukan Ash-Shiddiq (yang membenarkan). Ia juga di kenal dengan nama `Atiiq karena mendapat jaminan bebas dari api Neraka. Sebagaimana sabda dari Rasulullah SAW berikut;
Dari ‘Aisyah RA, katanya: bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa yang suka melihat orang yang dibebaskan (‘atiiq) dari api Neraka, maka lihatlah Abu Bakar” (HR. Al-Hakim)
Abdullah Ibn Abi Quhafah atau Abu Bakar Ash-Shiddiq adalah orang yang bertubuh kurus, berkulit putih. ‘Aisyah putrinya yang juga istri dari Rasulullah SAW menerangkan karakter ayahnya; “Abu Bakar Ash-Shiddiq berkulit putih, kurus, tipis kedua pelipisnya, kecil pinggangnya (sehingga kainnya selalu turun dari ping-gangnya), wajahnya selalu berkeringat, hitam warna matanya, berkening lebar, dan selalu mewarnai jenggotnya dengan inai maupun katam.”
Persabatan sejati
Muhammad ibn Abdullah (Rasulullah) dan Abdullah Ibn Abi Quhafah (Abu Bakar Ash-Shiddiq) telah bersahabat sejak kecil. Mereka berdua tumbuh dalam lingkungan jahiliyah, di antara orang-orang yang sangat gemar menembangkan syair-syair sesat, di antara orang-orang bodoh yang telah menyembah tuhan berhala, bahkan memperjualbelikan tuhan-tuhan mereka itu.
Karena proses alam telah mengaturnya, maka kedua bocah ini pun akhirnya tumbuh dewasa. Meski hidup di tengah tradisi jahiliyah, namun hati mereka tidak serta merta menerima hal itu. Allah SWT menjaga hati keduanya dari berbagai dampak buruk kejahiliyahan bangsa Quraisy, sehingga jiwa mereka jernih, tak ternodai kemusyrikkan dan kejahatan.
Seperti kebanyakan penduduk Makkah, mereka berdua memiliki keahlian mengembala dan berniaga. Suatu ketika, Abdullah ibn Abi Quhafah ikut dalam kafilah niaga. Di tengah perjalanan, kafilah menghentikan perjalanan untuk beristirahat. Abdullah memilih berteduh di bawah pohon. Disana, ia tertidur. Dalam tidurnya, ia bermimpi melihat rembulan yang meninggalkan langit dan mendekati bumi, kemudian pecah dan kepingan-kepingannya tersebar di jalan-jalan kota Makkah. Setelah itu, kepingan-kepingan tersebut menyatu seperti sedia kala dan kembali ke langit. Mimpi menakjubkan itu membuat Abdullah ibn Abi Quhafah penasaran. Ia berusaha menaksir makna mimpi itu. Ia tak menyadari jika mimpi itu sesungguhnya adalah kabar gembira.
Abu Bakar sangat berbahagia ketika fajar Islam telah terbit di kota Makkah saat Allah SWT mengangkat sahabatnya Muhammad sebagai Rasul yang mengarahkan manusia kepada kebenaran dan imam. Mengajak manusia menyembah hanya kepada Allah SWT dan meninggalkan berhala-berhala sembahan mereka itu. Tujuan dari dakwah Rasulullah SAW adalah mengangkat tinggi martabat dan menghargai akal manusia. Namun, penduduk Makkah justru menolak. Bisikan syaitan masih terlalu nyaring di telinga mereka.
Setelah Rasulullah SAW menyampaikan kerasulannya secara terbuka di bukit Shafa, Abu Bakar lebih berani membaca Al-Qur’an dengan suara nyaring. Ada orang yang tersentuh dengan bacaan Abu Bakar itu, hingga kemudian masuk Islam. Ada pula yang tidak suka, kemudian marah dan memukulnya. Abu Bakar pingsan oleh pukulan itu. Ia telah siap dengan segala kemungkinan dan tak gentar untuk selalu membaca Al-Qur’an dengan suara nyaring. Saat siuman, yang pertama Abu Bakar katakan adalah, “Bagaimana keadaan Rasulullah SAW”. Abu Bakar akan menolak makanan dan minuman yang ditawarkan kepadanya, sampai ia telah yakin bahwa Rasulullah baik-baik saja. Inilah persahabatan sejati yang di bangun atas dasar cinta dan pengorbanan yang tulus.
Begitu pun ketika Rasulullah SAW menyatakan tentang perjalanan Isra` mi`raj nya dari atas bukit Shafa, banyaklah orang-orang yang menjadi bimbang dan ragu dengan pengakuan Rasulullah SAW tersebut, termasuk kalangan umat Islam. Dan mereka yang ragu-ragu ini, akhirnya mendatangi Abu Bakar Ash-Shiddiq yang saat itu tidak hadir mendengar pengakuan tersebut. Sambil tersenyum, maka Abu Bakar Ash-Shiddiq menanggapi, “Jika Muhammad yang mengatakan, berarti benar. Aku percaya pada kenabiannya dan wahyu yang telah diturunkan kepadanya. Dan, aku juga percaya pada apa yang ia katakan hari ini!”
Hijrah bersama Rasulullah SAW atas dasar cinta
Ketika peristiwa Hijrah, saat Rasulullah SAW pindah ke Madinah (622 M), Abu Bakar adalah satu-satunya orang yang menemaninya. Gelap menyelimuti Makkah. Mencekam. Malam itu orang-orang kafir berkonspirasi untuk membunuh Rasulullah SAW. Sebelum semuanya terjadi, Allah SWT telah lebih dulu mengabarkan rencan busuk itu kepada Rasulullah SAW, dan memerintahkan segera hijrah.
Setelah Baiat ‘Aqabah kedua, kaum Muslim Quraisy mulai banyak yang berhijrah. Di antara yang lebih dulu berangkat adalah beberapa sepupu Nabi, sahabatnya Utsman dan Umar. Hampir semua sahabat ter-dekat Rasulullah telah meninggalkan Makkah kecuali Ali bin Abu Thalib dan Abu Bakar Ash-Shiddiq. Abu Bakar sebenarnya telah meminta izin kepada Rasulullah untuk berangkat hijrah, namun beliau berkata: “Tidak usah terburu-buru berangkat, karena mungkin Allah SWT akan memberimu seorang teman,” Abu Bakar mengerti bahwa ia harus menunggu Rasulullah SAW.
Di pihak Quraisy, mereka merencanakan pembunuhan terhadap Rasulullah. Jibril datang kepada Rasulullah dan memberitahukan apa yang harus dilakukan. Waktu itu sore hari, Rasulullah langsung pergi ke rumah Abu Bakar – waktu kunjungan yang tidak seperti biasanya – beliau biasa berkunjung ke rumah Abu Bakar pada siang hari. Rasulullah berujar, “Allah SWT telah mengizinkan aku untuk meninggalkan kota ini dan berhijrah,”
“Bersama denganku?” Tanya Abu Bakar. “Ya, bersamamu.” Jawab Rasulullah.
Setelah mereka selesai membuat rencana, Rasulullah kembali ke rumahnya dan memberitahu Ali tentang keberangkatannya ke Yastrib. Beliau menyuruh Ali untuk tetap tinggal di Makkah sampai semua barang-barang yang dititipkan di rumahnya selesai dikembalikan. Rasulullah SAW senantiasa dikenal sebagai Al-Amin, sehingga masih banyak dipercaya orang-orang kafir untuk menjaga harta benda mereka, karena tidak menemukan orang lain yang dapat dipercaya.
Para pemuda Quraisy yang dipilih untuk membunuh Rasulullah telah sepakat untuk bertemu di luar gerbang rumah beliau saat malam tiba. Namun ketika mereka sedang menunggu sampai jumlah mereka lengkap, mereka mendengar suara wanita dari dalam rumah, hal itu membuat mereka berpikir ulang untuk masuk ke dalam rumah. Jika mereka menerobos masuk, maka nama mereka akan tercemar selamanya di kalangan bangsa Arab karena telah melanggar privasi kaum wanita. Oleh karena itu mereka memutuskan untuk menunggu sampai korbannya keluar rumah. Seperti biasanya, ia akan keluar di waktu subuh atau sebelumnya.
Rasulullah SAW dan Ali mengetahui kehadiran mereka. Rasulullah mengambil selimut yang biasa ia kenakan untuk tidur dan memberikannya kepada Ali. Ali kemudian tidur di tempat tidur Rasulullah SAW menggantikannya. Kemudian Rasulullah mulai membacakan surah yang diberi nama dengan kalimat pembukanya, Yasin. Ketika sampai pada kalimat, “Dan Kami adakan di hadapan mereka dinding dan dibelakang mereka dinding pula, dan Kami tutup (mata) mereka sehingga mereka tidak dapat melihat.” (QS. Yaasiin [36] ayat 9), beliau keluar dari rumah. Allah menutup pandangan para pemuda Quraisy itu hingga mereka tidak bisa melihat saat Rasulullah SAW keluar dari rumahnya.
Malam sudah hampir berlalu dan fajar akan menyingsing. Rasulullah SAW lantas bertemu dengan Abu Bakar. Abu Bakar berpamitan kepada istrinya; Ummu Ruman, serta anak-anaknya; Abdullah, Asma dan A`isyah, lalu tanpa membuang waktu mereka keluar dari rumah Abu Bakar melalui jendela belakang rumahnya untuk segera berlalu menuju bukit Tsur kemudian bersembunyi di dalam sebuah gua. Mereka menunggangi unta menuju sebuah gua di gunung Tsawr agak selatan, yang sejalan di jalur ke arah Yaman.
‘Amir Ibn Fuhayra – pengembala yang telah dibeli Abu Bakar sebagai budak dan sudah bebas serta ditugasi mengembala domba-dombanya – mengikuti mereka di belakang bersama gembalanya untuk menghilangkan jejak mereka.
Dari Hasan Al-Bishri; “Sesungguhnya malam itu Abu Bakar RA berangkat bersama Nabi SAW ke gua. Kadang ia berjalan di depan beliau SAW kadang-kadang dibelakangnya. Beliau SAW bertanya; ‘Kalau aku yang teringat, aku yang mencari jalan dan harus di depan, tetapi kalau aku tidak ingat, akupun harus dibelakangmu”
Beliau SAW bersabda; “Andaikan terjadi sesuatu, apakah engkau lebih senang dibunuh untuk melindungi aku?”
“Benar.” Jawab Abu Bakar RA “Demi Tuhan yang telah mengutusmu dengan haq!”
Dan ketika mereka sampai di gua, Abu Bakar berkata; “Ya Rasulullah, tunggu dulu, kubersihkan dulu gua ini untukmu.” Ia pun lantas membersihkan dengan meraba-rabakan tangannya. Kalau ia melihat ada batu, ia menyobek pakaiannya untuk menutupi batu itu, sampai habis pakaiannya meski ternyata masih ada batu yang terlihat. Kemudian ia meletakkan tumitnya untuk menutupi batu itu agar tidak menyakiti Rasulullah SAW.
Langkah kaki para pemuda Quraisy tidak lagi terdengar samar. Tapi wajah Abu Bakar pucat pasi. Tak terasa tubuhnya pun bergetar hebat, betapa tidak, dari celah gua ia mampu melihat para pemburu itu berada di atas kepalanya. Setengah berbisik berkatalah Abu Bakar; “Wahai Rasulullah, jika mereka melihat ke kaki-kaki mereka, sesungguhnya mereka pasti melihat kita berdua”.
Rasulullah SAW memandang Abu Bakar penuh makna. Ditepuknya punggung sahabat dekatnya ini pelan sambil berujar; “Janganlah engkau kira kita hanya berdua. Sesungguhnya kita bertiga, dan yang ketiga adalah Dia, yang menggenggam kekuasaan maha, Allah”.
Sejenak ketenangan menyapa Abu Bakar. Sama sekali ia tidak mengkhawatirkan keselamatannya. Kematian baginya bukan apa-apa, ia hanya lelaki biasa. Sedang, untuk lelaki tampan yang kini dekat disampingnya, keselamatan di atas mati dan hidupnya. Bagaimana semesta jadinya tanpa penerang. Bagaimana Yastrib jika harus kehilangan purnama. Bagaimana dunia tanpa benderang penyampai wahyu. Sungguh, ia tak gentar dengan tajam mata pedang para pemuda Quraisy, yang akan merobek lambung serta menumpahkan darahnya. Sungguh, ia tidak khawatir runcing anak panah yang akan menghunjam setiap jengkal tubuhnya. Ia hanya takut, Muhammad, ya Muhammad, mereka membunuh Muhammad.
Berdua mereka berhadapan, dan mereka sepakat untuk bergantian berjaga. Dan keakraban mempesona itu bukan sebuah kebohongan. Abu Bakar memandang wajah syahdu di depannya dalam hening. Setiap guratan di wajah indah itu ia perhatikan seksama. Aduhai betapa ia men-cintai putra Abdullah. Kelelahan yang mendera setelah perjalanan jauh, seketika seperti ditelan kegelapan gua. Wajah di depannya yang saat itu berada nyata, meleburkan penat yang ia rasa. Hanya ada satu nama yang berdebur dalam dadanya. Cinta.
Sejeda kemudian, Muhammad melabuhkan kepalanya di pangkuan Abu Bakar. Dan seperti anak kecil, Abu Bakar berenang dalam samudera kegembiraan yang sempurna. Tak ada lagi yang dapat memesonakannya selama hidup kecuali saat kepala Nabi yang ummi berbantalkan kedua pahanya. Mata Rasulullah terpejam. Dengan hati-hati, seperti seorang ibu, telapak tangan Abu Bakar, mengusap peluh di kening Rasulullah. Masih dalam senyap, Abu Bakar terus terpesona dengan sosok cinta yang tengah beristirahat diam di pangkuannya. Sebuah asa mengalun dalam hatinya “Allah, betapa ingin hamba menikmati ini selamanya”.
Nafas harum itu terhembus satu-satu, menyapa wajah Abu Bakar yang sangat dekat. Abu Bakar tersenyum, sepenuh kalbu ia menatapnya lagi. Tak jenuh, tak bosan. Dan seketika wajahnya muram. Ia teringat perlakuan orang-orang Quraisy yang memburu Purnama Madinah seperti memburu hewan buruan. Bagaimana mungkin mereka begitu keji mengganggu cucu Abdul Muthalib, yang begitu santun dan amanah. Mendung di wajah Abu bakar belum juga surut. Sebuah kuntum azzam memekar di kedalaman hatinya, begitu semerbak. “Selama hayat berada dalam raga, aku Abu Bakar, akan selalu berada di sampingmu, untuk membelamu dan tak akan membiarkan sesiapapun menganggumu”.
Sunyi tetap terasa. Gua itu begitu dingin dan remang-remang. Abu Bakar menyandarkan punggung di dinding gua. Rasulullah SAW, masih saja mengalun dalam istirahatnya. Dan tiba-tiba saja, seekor ular mendesis-desis perlahan mendatangi kaki Abu Bakar yang terlentang. Abu Bakar menatapnya waspada, ingin sekali ia menarik kedua kakinya untuk menjauh dari hewan berbisa ini. Namun, keinginan itu dienyahkannya dari benak, tak ingin ia mengganggu tidur nyaman Rasulullah SAW. Bagaimana mungkin, ia tega membangunkan kekasihnya itu.
Abu Bakar meringis, ketika ular itu menggigit pergelangan kakinya, tapi kakinya tetap saja tak bergerak sedikitpun. Dan ular itu pergi setelah beberapa lama. Dalam hening, sekujur tubuhnya terasa panas. Bisa ular segera menjalar cepat. Abu Bakar menangis diam-diam. Rasa sakit itu tak dapat ditahan lagi. Tanpa sengaja, air matanya menetes mengenai pipi Rasulullah yang tengah berbaring. Abu Bakar menghentikan tangisannya, kekhawatirannya terbukti, Rasulullah terjaga dan menatapnya penuh rasa ingin tahu.
“Wahai hamba Allah, apakah engkau menangis karena menyesal mengikuti perjalanan ini” suara Rasulullah memenuhi udara gua.
“Tentu saja tidak, saya ridha dan ikhlas mengikutimu kemana pun” Potong Abu Bakar masih dalam kesakitan.
“Lalu mengapakah, engkau meluruhkan air mata?” Tanya Rasulullah lagi kepada sahabatnya itu.
“Seekor ular, baru saja menggigit saya, wahai putra Abdullah, dan bisanya menjalar begitu cepat”
Rasulullah menatap Abu Bakar penuh keheranan, tak seberapa lama bibir manisnya bergerak “Mengapa engkau tidak menghindarinya?”
“Saya khawatir membangunkan engkau dari lelap” Jawab Abu Bakar sendu. Sebenarnya ia kini menyesal karena tidak dapat menahan air mata-nya hingga mengenai pipi Rasulullah dan membuatnya terjaga.
Saat itu, air mata bukan milik Abu Bakar saja. Selanjutnya mata Al-Musthafa berkabut dan bening air mata tergenang di pelupuknya. Betapa indah sebuah ukhuwah (ikatan persaudaraan).
“Sungguh bahagia, aku memiliki seorang sepertimu wahai putra Abu Quhafah. Sesungguhnya Allah SWT sebaik-baik pemberi balasan”. Tanpa menunggu waktu, dengan penuh kasih sayang, Al-Musthafa lalu meraih pergelangan kaki yang digigit ular. Dengan mengagungkan nama Allah Pencipta semesta, Nabi Muhammad SAW mengusap bekas gigitan itu dengan ludahnya. Maha Suci Allah, seketika rasa sakit itu tak lagi ada. Abu Bakar segera menarik kakinya karena malu. Nabi masih memandangnya sayang.
“Bagaimana mungkin, mereka para kafir tega menyakiti manusia indah sepertimu. Bagaimana mungkin?” Nyaring kata hati Abu Bakar kemudian.
Gua Tsur kembali ditelan senyap. Kini giliran Abu Bakar yang beristirahat dan Rasulullah berjaga. Dan, Abu Bakar menggeleng kuat-kuat ketika Rasulullah SAW menawarkan pangkuannya. Tak akan rela, dirinya membebani pangkuan penuh berkah itu.
Pada malam berikutnya, Abdullah datang ke gua bersama saudara perempuannya Asma membawakan makanan. Mereka melaporkan bahwa Quraisy menawarkan hadiah seratus ekor unta bagi siapa saja yang dapat menemukan Muhammad dan membawanya kembali ke Makkah.
Pada hari ketiga, para pencari melakukan pencarian di bukit Tsawr. Mereka memanjat ke arah gua. Rasulullah yang berada di dalam gua bersama Abu Bakar menoleh ke arah Abu Bakar, “Jangan bersedih, karena sesungguhnya Allah beserta kita.” (QS. At-Taubah [9] ayat 40), namun saat para pencari berada di muka gua, mereka sepakat untuk tidak mencari ke dalam karena menurut mereka Rasulullah SAW tidak mungkin berada di dalamnya.
Ketika para pencari telah pergi, Rasulullah dan Abu Bakar pergi ke mulut gua. Di sana, di depannya, hampir menutupi jalan masuk, ada sebuah pohon akasia kira-kira setengah tinggi manusia yang pagi itu belum ada, dan di celah antara pohon dan dinding gua terdapat seekor laba-laba telah membuat sarangnya. Bahkan di tempat orang yang kemungkinan melangkah ada seekor burung merpati telah bersarang dan sedang duduk seakan akan mengerami telur telurnya.
Ketika itu Asma dan Abdullah telah kembali ke gua, dengan tidak mengganggu hewan-hewan yang telah melindungi mereka dari para pencari tersebut, Rasulullah dan Abu Bakar lalu meninggalkan gua. Kala itu Rasulullah SAW menunggangi unta kesayangannya Qashwa untuk menuju Yastrib (Madinah).
Setibanya di Yastrib, mereka di sambut dengan penuh suka cita dan penghargaan yang luarbiasa dari warga disana. Sehingga dengan demikian, maka berakhirlah perjalanan hijrah mereka yang penuh tantangan itu. Dan sejak saat itu pula, maka Abdullah ibn Abi Quhafah atau Abu Bakar Ash-Shiddiq RA memulai kehidupannya yang baru dengan penuh kemuliaan.
Dalam
kitab Hayatussahabah, bab Dakwah Muhammad kepada perorangan, dituliskan
bahwa Abu bakar masuk Islam setelah diajak oleh Nabi[1] Abubakar
kemudian [dakwah|mendakwahkan] ajaran Islam kepada Utsman bin Affan,
Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Saad bin Abi Waqas dan
beberapa tokoh penting dalam Islam lainnya.Sosok dan karakter Abu Bakar Ash-Shiddiq
Abdullah ibn Abi Quhafah ibn Amir ibn Ka`ab, lahir di Makkah dan berasal dari kabilah Bani Tamim. Ia dikenal dengan nama Abu Bakar dan mendapat julukan Ash-Shiddiq (yang membenarkan). Ia juga di kenal dengan nama `Atiiq karena mendapat jaminan bebas dari api Neraka. Sebagaimana sabda dari Rasulullah SAW berikut;
Dari ‘Aisyah RA, katanya: bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa yang suka melihat orang yang dibebaskan (‘atiiq) dari api Neraka, maka lihatlah Abu Bakar” (HR. Al-Hakim)
Abdullah Ibn Abi Quhafah atau Abu Bakar Ash-Shiddiq adalah orang yang bertubuh kurus, berkulit putih. ‘Aisyah putrinya yang juga istri dari Rasulullah SAW menerangkan karakter ayahnya; “Abu Bakar Ash-Shiddiq berkulit putih, kurus, tipis kedua pelipisnya, kecil pinggangnya (sehingga kainnya selalu turun dari ping-gangnya), wajahnya selalu berkeringat, hitam warna matanya, berkening lebar, dan selalu mewarnai jenggotnya dengan inai maupun katam.”
Persabatan sejati
Muhammad ibn Abdullah (Rasulullah) dan Abdullah Ibn Abi Quhafah (Abu Bakar Ash-Shiddiq) telah bersahabat sejak kecil. Mereka berdua tumbuh dalam lingkungan jahiliyah, di antara orang-orang yang sangat gemar menembangkan syair-syair sesat, di antara orang-orang bodoh yang telah menyembah tuhan berhala, bahkan memperjualbelikan tuhan-tuhan mereka itu.
Karena proses alam telah mengaturnya, maka kedua bocah ini pun akhirnya tumbuh dewasa. Meski hidup di tengah tradisi jahiliyah, namun hati mereka tidak serta merta menerima hal itu. Allah SWT menjaga hati keduanya dari berbagai dampak buruk kejahiliyahan bangsa Quraisy, sehingga jiwa mereka jernih, tak ternodai kemusyrikkan dan kejahatan.
Seperti kebanyakan penduduk Makkah, mereka berdua memiliki keahlian mengembala dan berniaga. Suatu ketika, Abdullah ibn Abi Quhafah ikut dalam kafilah niaga. Di tengah perjalanan, kafilah menghentikan perjalanan untuk beristirahat. Abdullah memilih berteduh di bawah pohon. Disana, ia tertidur. Dalam tidurnya, ia bermimpi melihat rembulan yang meninggalkan langit dan mendekati bumi, kemudian pecah dan kepingan-kepingannya tersebar di jalan-jalan kota Makkah. Setelah itu, kepingan-kepingan tersebut menyatu seperti sedia kala dan kembali ke langit. Mimpi menakjubkan itu membuat Abdullah ibn Abi Quhafah penasaran. Ia berusaha menaksir makna mimpi itu. Ia tak menyadari jika mimpi itu sesungguhnya adalah kabar gembira.
Abu Bakar sangat berbahagia ketika fajar Islam telah terbit di kota Makkah saat Allah SWT mengangkat sahabatnya Muhammad sebagai Rasul yang mengarahkan manusia kepada kebenaran dan imam. Mengajak manusia menyembah hanya kepada Allah SWT dan meninggalkan berhala-berhala sembahan mereka itu. Tujuan dari dakwah Rasulullah SAW adalah mengangkat tinggi martabat dan menghargai akal manusia. Namun, penduduk Makkah justru menolak. Bisikan syaitan masih terlalu nyaring di telinga mereka.
Setelah Rasulullah SAW menyampaikan kerasulannya secara terbuka di bukit Shafa, Abu Bakar lebih berani membaca Al-Qur’an dengan suara nyaring. Ada orang yang tersentuh dengan bacaan Abu Bakar itu, hingga kemudian masuk Islam. Ada pula yang tidak suka, kemudian marah dan memukulnya. Abu Bakar pingsan oleh pukulan itu. Ia telah siap dengan segala kemungkinan dan tak gentar untuk selalu membaca Al-Qur’an dengan suara nyaring. Saat siuman, yang pertama Abu Bakar katakan adalah, “Bagaimana keadaan Rasulullah SAW”. Abu Bakar akan menolak makanan dan minuman yang ditawarkan kepadanya, sampai ia telah yakin bahwa Rasulullah baik-baik saja. Inilah persahabatan sejati yang di bangun atas dasar cinta dan pengorbanan yang tulus.
Begitu pun ketika Rasulullah SAW menyatakan tentang perjalanan Isra` mi`raj nya dari atas bukit Shafa, banyaklah orang-orang yang menjadi bimbang dan ragu dengan pengakuan Rasulullah SAW tersebut, termasuk kalangan umat Islam. Dan mereka yang ragu-ragu ini, akhirnya mendatangi Abu Bakar Ash-Shiddiq yang saat itu tidak hadir mendengar pengakuan tersebut. Sambil tersenyum, maka Abu Bakar Ash-Shiddiq menanggapi, “Jika Muhammad yang mengatakan, berarti benar. Aku percaya pada kenabiannya dan wahyu yang telah diturunkan kepadanya. Dan, aku juga percaya pada apa yang ia katakan hari ini!”
Hijrah bersama Rasulullah SAW atas dasar cinta
Ketika peristiwa Hijrah, saat Rasulullah SAW pindah ke Madinah (622 M), Abu Bakar adalah satu-satunya orang yang menemaninya. Gelap menyelimuti Makkah. Mencekam. Malam itu orang-orang kafir berkonspirasi untuk membunuh Rasulullah SAW. Sebelum semuanya terjadi, Allah SWT telah lebih dulu mengabarkan rencan busuk itu kepada Rasulullah SAW, dan memerintahkan segera hijrah.
Setelah Baiat ‘Aqabah kedua, kaum Muslim Quraisy mulai banyak yang berhijrah. Di antara yang lebih dulu berangkat adalah beberapa sepupu Nabi, sahabatnya Utsman dan Umar. Hampir semua sahabat ter-dekat Rasulullah telah meninggalkan Makkah kecuali Ali bin Abu Thalib dan Abu Bakar Ash-Shiddiq. Abu Bakar sebenarnya telah meminta izin kepada Rasulullah untuk berangkat hijrah, namun beliau berkata: “Tidak usah terburu-buru berangkat, karena mungkin Allah SWT akan memberimu seorang teman,” Abu Bakar mengerti bahwa ia harus menunggu Rasulullah SAW.
Di pihak Quraisy, mereka merencanakan pembunuhan terhadap Rasulullah. Jibril datang kepada Rasulullah dan memberitahukan apa yang harus dilakukan. Waktu itu sore hari, Rasulullah langsung pergi ke rumah Abu Bakar – waktu kunjungan yang tidak seperti biasanya – beliau biasa berkunjung ke rumah Abu Bakar pada siang hari. Rasulullah berujar, “Allah SWT telah mengizinkan aku untuk meninggalkan kota ini dan berhijrah,”
“Bersama denganku?” Tanya Abu Bakar. “Ya, bersamamu.” Jawab Rasulullah.
Setelah mereka selesai membuat rencana, Rasulullah kembali ke rumahnya dan memberitahu Ali tentang keberangkatannya ke Yastrib. Beliau menyuruh Ali untuk tetap tinggal di Makkah sampai semua barang-barang yang dititipkan di rumahnya selesai dikembalikan. Rasulullah SAW senantiasa dikenal sebagai Al-Amin, sehingga masih banyak dipercaya orang-orang kafir untuk menjaga harta benda mereka, karena tidak menemukan orang lain yang dapat dipercaya.
Para pemuda Quraisy yang dipilih untuk membunuh Rasulullah telah sepakat untuk bertemu di luar gerbang rumah beliau saat malam tiba. Namun ketika mereka sedang menunggu sampai jumlah mereka lengkap, mereka mendengar suara wanita dari dalam rumah, hal itu membuat mereka berpikir ulang untuk masuk ke dalam rumah. Jika mereka menerobos masuk, maka nama mereka akan tercemar selamanya di kalangan bangsa Arab karena telah melanggar privasi kaum wanita. Oleh karena itu mereka memutuskan untuk menunggu sampai korbannya keluar rumah. Seperti biasanya, ia akan keluar di waktu subuh atau sebelumnya.
Rasulullah SAW dan Ali mengetahui kehadiran mereka. Rasulullah mengambil selimut yang biasa ia kenakan untuk tidur dan memberikannya kepada Ali. Ali kemudian tidur di tempat tidur Rasulullah SAW menggantikannya. Kemudian Rasulullah mulai membacakan surah yang diberi nama dengan kalimat pembukanya, Yasin. Ketika sampai pada kalimat, “Dan Kami adakan di hadapan mereka dinding dan dibelakang mereka dinding pula, dan Kami tutup (mata) mereka sehingga mereka tidak dapat melihat.” (QS. Yaasiin [36] ayat 9), beliau keluar dari rumah. Allah menutup pandangan para pemuda Quraisy itu hingga mereka tidak bisa melihat saat Rasulullah SAW keluar dari rumahnya.
Malam sudah hampir berlalu dan fajar akan menyingsing. Rasulullah SAW lantas bertemu dengan Abu Bakar. Abu Bakar berpamitan kepada istrinya; Ummu Ruman, serta anak-anaknya; Abdullah, Asma dan A`isyah, lalu tanpa membuang waktu mereka keluar dari rumah Abu Bakar melalui jendela belakang rumahnya untuk segera berlalu menuju bukit Tsur kemudian bersembunyi di dalam sebuah gua. Mereka menunggangi unta menuju sebuah gua di gunung Tsawr agak selatan, yang sejalan di jalur ke arah Yaman.
‘Amir Ibn Fuhayra – pengembala yang telah dibeli Abu Bakar sebagai budak dan sudah bebas serta ditugasi mengembala domba-dombanya – mengikuti mereka di belakang bersama gembalanya untuk menghilangkan jejak mereka.
Dari Hasan Al-Bishri; “Sesungguhnya malam itu Abu Bakar RA berangkat bersama Nabi SAW ke gua. Kadang ia berjalan di depan beliau SAW kadang-kadang dibelakangnya. Beliau SAW bertanya; ‘Kalau aku yang teringat, aku yang mencari jalan dan harus di depan, tetapi kalau aku tidak ingat, akupun harus dibelakangmu”
Beliau SAW bersabda; “Andaikan terjadi sesuatu, apakah engkau lebih senang dibunuh untuk melindungi aku?”
“Benar.” Jawab Abu Bakar RA “Demi Tuhan yang telah mengutusmu dengan haq!”
Dan ketika mereka sampai di gua, Abu Bakar berkata; “Ya Rasulullah, tunggu dulu, kubersihkan dulu gua ini untukmu.” Ia pun lantas membersihkan dengan meraba-rabakan tangannya. Kalau ia melihat ada batu, ia menyobek pakaiannya untuk menutupi batu itu, sampai habis pakaiannya meski ternyata masih ada batu yang terlihat. Kemudian ia meletakkan tumitnya untuk menutupi batu itu agar tidak menyakiti Rasulullah SAW.
Langkah kaki para pemuda Quraisy tidak lagi terdengar samar. Tapi wajah Abu Bakar pucat pasi. Tak terasa tubuhnya pun bergetar hebat, betapa tidak, dari celah gua ia mampu melihat para pemburu itu berada di atas kepalanya. Setengah berbisik berkatalah Abu Bakar; “Wahai Rasulullah, jika mereka melihat ke kaki-kaki mereka, sesungguhnya mereka pasti melihat kita berdua”.
Rasulullah SAW memandang Abu Bakar penuh makna. Ditepuknya punggung sahabat dekatnya ini pelan sambil berujar; “Janganlah engkau kira kita hanya berdua. Sesungguhnya kita bertiga, dan yang ketiga adalah Dia, yang menggenggam kekuasaan maha, Allah”.
Sejenak ketenangan menyapa Abu Bakar. Sama sekali ia tidak mengkhawatirkan keselamatannya. Kematian baginya bukan apa-apa, ia hanya lelaki biasa. Sedang, untuk lelaki tampan yang kini dekat disampingnya, keselamatan di atas mati dan hidupnya. Bagaimana semesta jadinya tanpa penerang. Bagaimana Yastrib jika harus kehilangan purnama. Bagaimana dunia tanpa benderang penyampai wahyu. Sungguh, ia tak gentar dengan tajam mata pedang para pemuda Quraisy, yang akan merobek lambung serta menumpahkan darahnya. Sungguh, ia tidak khawatir runcing anak panah yang akan menghunjam setiap jengkal tubuhnya. Ia hanya takut, Muhammad, ya Muhammad, mereka membunuh Muhammad.
Berdua mereka berhadapan, dan mereka sepakat untuk bergantian berjaga. Dan keakraban mempesona itu bukan sebuah kebohongan. Abu Bakar memandang wajah syahdu di depannya dalam hening. Setiap guratan di wajah indah itu ia perhatikan seksama. Aduhai betapa ia men-cintai putra Abdullah. Kelelahan yang mendera setelah perjalanan jauh, seketika seperti ditelan kegelapan gua. Wajah di depannya yang saat itu berada nyata, meleburkan penat yang ia rasa. Hanya ada satu nama yang berdebur dalam dadanya. Cinta.
Sejeda kemudian, Muhammad melabuhkan kepalanya di pangkuan Abu Bakar. Dan seperti anak kecil, Abu Bakar berenang dalam samudera kegembiraan yang sempurna. Tak ada lagi yang dapat memesonakannya selama hidup kecuali saat kepala Nabi yang ummi berbantalkan kedua pahanya. Mata Rasulullah terpejam. Dengan hati-hati, seperti seorang ibu, telapak tangan Abu Bakar, mengusap peluh di kening Rasulullah. Masih dalam senyap, Abu Bakar terus terpesona dengan sosok cinta yang tengah beristirahat diam di pangkuannya. Sebuah asa mengalun dalam hatinya “Allah, betapa ingin hamba menikmati ini selamanya”.
Nafas harum itu terhembus satu-satu, menyapa wajah Abu Bakar yang sangat dekat. Abu Bakar tersenyum, sepenuh kalbu ia menatapnya lagi. Tak jenuh, tak bosan. Dan seketika wajahnya muram. Ia teringat perlakuan orang-orang Quraisy yang memburu Purnama Madinah seperti memburu hewan buruan. Bagaimana mungkin mereka begitu keji mengganggu cucu Abdul Muthalib, yang begitu santun dan amanah. Mendung di wajah Abu bakar belum juga surut. Sebuah kuntum azzam memekar di kedalaman hatinya, begitu semerbak. “Selama hayat berada dalam raga, aku Abu Bakar, akan selalu berada di sampingmu, untuk membelamu dan tak akan membiarkan sesiapapun menganggumu”.
Sunyi tetap terasa. Gua itu begitu dingin dan remang-remang. Abu Bakar menyandarkan punggung di dinding gua. Rasulullah SAW, masih saja mengalun dalam istirahatnya. Dan tiba-tiba saja, seekor ular mendesis-desis perlahan mendatangi kaki Abu Bakar yang terlentang. Abu Bakar menatapnya waspada, ingin sekali ia menarik kedua kakinya untuk menjauh dari hewan berbisa ini. Namun, keinginan itu dienyahkannya dari benak, tak ingin ia mengganggu tidur nyaman Rasulullah SAW. Bagaimana mungkin, ia tega membangunkan kekasihnya itu.
Abu Bakar meringis, ketika ular itu menggigit pergelangan kakinya, tapi kakinya tetap saja tak bergerak sedikitpun. Dan ular itu pergi setelah beberapa lama. Dalam hening, sekujur tubuhnya terasa panas. Bisa ular segera menjalar cepat. Abu Bakar menangis diam-diam. Rasa sakit itu tak dapat ditahan lagi. Tanpa sengaja, air matanya menetes mengenai pipi Rasulullah yang tengah berbaring. Abu Bakar menghentikan tangisannya, kekhawatirannya terbukti, Rasulullah terjaga dan menatapnya penuh rasa ingin tahu.
“Wahai hamba Allah, apakah engkau menangis karena menyesal mengikuti perjalanan ini” suara Rasulullah memenuhi udara gua.
“Tentu saja tidak, saya ridha dan ikhlas mengikutimu kemana pun” Potong Abu Bakar masih dalam kesakitan.
“Lalu mengapakah, engkau meluruhkan air mata?” Tanya Rasulullah lagi kepada sahabatnya itu.
“Seekor ular, baru saja menggigit saya, wahai putra Abdullah, dan bisanya menjalar begitu cepat”
Rasulullah menatap Abu Bakar penuh keheranan, tak seberapa lama bibir manisnya bergerak “Mengapa engkau tidak menghindarinya?”
“Saya khawatir membangunkan engkau dari lelap” Jawab Abu Bakar sendu. Sebenarnya ia kini menyesal karena tidak dapat menahan air mata-nya hingga mengenai pipi Rasulullah dan membuatnya terjaga.
Saat itu, air mata bukan milik Abu Bakar saja. Selanjutnya mata Al-Musthafa berkabut dan bening air mata tergenang di pelupuknya. Betapa indah sebuah ukhuwah (ikatan persaudaraan).
“Sungguh bahagia, aku memiliki seorang sepertimu wahai putra Abu Quhafah. Sesungguhnya Allah SWT sebaik-baik pemberi balasan”. Tanpa menunggu waktu, dengan penuh kasih sayang, Al-Musthafa lalu meraih pergelangan kaki yang digigit ular. Dengan mengagungkan nama Allah Pencipta semesta, Nabi Muhammad SAW mengusap bekas gigitan itu dengan ludahnya. Maha Suci Allah, seketika rasa sakit itu tak lagi ada. Abu Bakar segera menarik kakinya karena malu. Nabi masih memandangnya sayang.
“Bagaimana mungkin, mereka para kafir tega menyakiti manusia indah sepertimu. Bagaimana mungkin?” Nyaring kata hati Abu Bakar kemudian.
Gua Tsur kembali ditelan senyap. Kini giliran Abu Bakar yang beristirahat dan Rasulullah berjaga. Dan, Abu Bakar menggeleng kuat-kuat ketika Rasulullah SAW menawarkan pangkuannya. Tak akan rela, dirinya membebani pangkuan penuh berkah itu.
Pada malam berikutnya, Abdullah datang ke gua bersama saudara perempuannya Asma membawakan makanan. Mereka melaporkan bahwa Quraisy menawarkan hadiah seratus ekor unta bagi siapa saja yang dapat menemukan Muhammad dan membawanya kembali ke Makkah.
Pada hari ketiga, para pencari melakukan pencarian di bukit Tsawr. Mereka memanjat ke arah gua. Rasulullah yang berada di dalam gua bersama Abu Bakar menoleh ke arah Abu Bakar, “Jangan bersedih, karena sesungguhnya Allah beserta kita.” (QS. At-Taubah [9] ayat 40), namun saat para pencari berada di muka gua, mereka sepakat untuk tidak mencari ke dalam karena menurut mereka Rasulullah SAW tidak mungkin berada di dalamnya.
Ketika para pencari telah pergi, Rasulullah dan Abu Bakar pergi ke mulut gua. Di sana, di depannya, hampir menutupi jalan masuk, ada sebuah pohon akasia kira-kira setengah tinggi manusia yang pagi itu belum ada, dan di celah antara pohon dan dinding gua terdapat seekor laba-laba telah membuat sarangnya. Bahkan di tempat orang yang kemungkinan melangkah ada seekor burung merpati telah bersarang dan sedang duduk seakan akan mengerami telur telurnya.
Ketika itu Asma dan Abdullah telah kembali ke gua, dengan tidak mengganggu hewan-hewan yang telah melindungi mereka dari para pencari tersebut, Rasulullah dan Abu Bakar lalu meninggalkan gua. Kala itu Rasulullah SAW menunggangi unta kesayangannya Qashwa untuk menuju Yastrib (Madinah).
Setibanya di Yastrib, mereka di sambut dengan penuh suka cita dan penghargaan yang luarbiasa dari warga disana. Sehingga dengan demikian, maka berakhirlah perjalanan hijrah mereka yang penuh tantangan itu. Dan sejak saat itu pula, maka Abdullah ibn Abi Quhafah atau Abu Bakar Ash-Shiddiq RA memulai kehidupannya yang baru dengan penuh kemuliaan.
Istrinya Qutaylah binti Abdul Uzza tidak menerima Islam sebagai agama sehingga Abu Bakar menceraikannya. Istrinya yang lain, Um Ruman, menjadi Muslimah. Juga semua anaknya kecuali 'Abd Rahman bin Abu Bakar, sehingga ia dan 'Abd Rahman berpisah.
Sebagaimana yang juga dialami oleh para pemeluk Islam pada masa awal. Ia juga mengalami penyiksaan yang dilakukan oleh penduduk Mekkah yang mayoritas masih memeluk agama nenek moyang mereka. Namun, penyiksaan terparah dialami oleh mereka yang berasal dari golongan budak. Sementara para pemeluk non budak biasanya masih dilindungi oleh para keluarga dan sahabat mereka, para budak disiksa sekehendak tuannya. Hal ini mendorong Abu Bakar membebaskan para budak tersebut dengan membelinya dari tuannya kemudian memberinya kemerdekaan.
Ketika peristiwa Hijrah, saat Nabi Muhammad SAW pindah ke Madinah (622 M), Abu Bakar adalah satu-satunya orang yang menemaninya. Abu Bakar juga terikat dengan Nabi Muhammad secara kekeluargaan. Anak perempuannya, Aisyah menikah dengan Nabi Muhammad beberapa saat setelah Hijrah.
Selama masa sakit Rasulullah SAW saat menjelang ajalnya, dikatakan bahwa Abu Bakar ditunjuk untuk menjadi imam salat menggantikannya, banyak yang menganggap ini sebagai indikasi bahwa Abu Bakar akan menggantikan posisinya. Segera setelah kematiannya, dilakukan musyawarah di kalangan para pemuka kaum Anshar dan Muhajirin di Madinah, yang akhirnya menghasilkan penunjukan Abu Bakar sebagai pemimpin baru umat Islam atau khalifah Islam pada tahun ((632)) M.
Apa yang terjadi saat musyawarah tersebut menjadi sumber perdebatan. Penunjukan Abu Bakar sebagai khalifah adalah subyek kontroversial dan menjadi sumber perpecahan pertama dalam Islam, dimana umat Islam terpecah menjadi kaum Sunni dan Syi'ah. Di satu sisi kaum Syi'ah percaya bahwa seharusnya Ali bin Abi Thalib (menantu nabi Muhammad) yang menjadi pemimpin dan dipercayai ini adalah keputusan Rasulullah SAW sendiri sementara kaum sunni berpendapat bahwa Rasulullah SAW menolak untuk menunjuk penggantinya. Kaum sunni berargumen bahwa Muhammad mengedepankan musyawarah untuk penunjukan pemimpin.sementara muslim syi'ah berpendapat bahwa nabi dalam hal-hal terkecil seperti sebelum dan sesudah makan, minum, tidur, dll, tidak pernah meninggal umatnya tanpa hidayah dan bimbingan apalagi masalah kepemimpinan umat terahir. Banyak hadits yang menjadi rujukan dari kaum Sunni maupun Syi'ah tentang siapa khalifah sepeninggal Rasulullah saw, serta jumlah pemimpin islam yang dua belas. Terlepas dari kontroversi dan kebenaran pendapat masing-masing kaum tersebut, Ali sendiri secara formal menyatakan kesetiaannya (berbai'at) kepada Abu Bakar dan dua khalifah setelahnya (Umar bin Khattab dan Usman bin Affan). Kaum sunni menggambarkan pernyataan ini sebagai pernyataan yang antusias dan Ali menjadi pendukung setia Abu Bakar dan Umar. Sementara kaum syi'ah menggambarkan bahwa Ali melakukan baiat tersebut secara pro forma, mengingat ia berbaiat setelah sepeninggal Fatimah istrinya yang berbulan bulan lamanya dan setelah itu ia menunjukkan protes dengan menutup diri dari kehidupan publik.
Segera setelah suksesi Abu Bakar, beberapa masalah yang mengancam persatuan dan stabilitas komunitas dan negara Islam saat itu muncul. Beberapa suku Arab yang berasal dari Hijaz dan Nejed membangkang kepada khalifah baru dan sistem yang ada. Beberapa di antaranya menolak membayar zakat walaupun tidak menolak agama Islam secara utuh. Beberapa yang lain kembali memeluk agama dan tradisi lamanya yakni penyembahan berhala. Suku-suku tersebut mengklaim bahwa hanya memiliki komitmen dengan Nabi Muhammad SAW dan dengan kematiannya komitmennya tidak berlaku lagi. Berdasarkan hal ini Abu Bakar menyatakan perang terhadap mereka yang dikenal dengan nama perang Ridda. Dalam perang Ridda peperangan terbesar adalah memerangi "Ibnu Habib al-Hanafi" yang lebih dikenal dengan nama Musailamah Al-Kazab (Musailamah si pembohong), yang mengklaim dirinya sebagai nabi baru menggantikan Nabi Muhammad SAW. Musailamah kemudian dikalahkan pada pertempuran Akraba oleh Khalid bin Walid.
Setelah menstabilkan keadaan internal dan secara penuh menguasai Arab, Abu Bakar memerintahkan para jenderal Islam melawan kekaisaran Bizantium dan Kekaisaran Sassanid. Khalid bin Walid menaklukkan Irak dengan mudah sementara ekspedisi ke Suriah juga meraih sukses.
Abu Bakar juga berperan dalam pelestarian teks-teks tertulis Al Qur'an. Dikatakan bahwa setelah kemenangan yang sangat sulit saat melawan Musailamah dalam perang Ridda, banyak penghafal Al Qur'an yang ikut tewas dalam pertempuran. Umar lantas meminta Abu Bakar untuk mengumpulkan koleksi dari Al Qur'an. oleh sebuah tim yang diketuai oleh sahabat Zaid bin Tsabit, mulailah dikumpulkan lembaran-lembaran Al-quran dari para penghafal Al-Quran dan tulisan-tulisan yang terdapat pada media tulis seperti tulang, kulit dan lain sebagainya,setelah lengkap penulisan ini maka kemudian disimpan oleh Abu Bakar. setelah Abu Bakar meninggal maka disimpan oleh Umar bin Khaththab dan kemudian disimpan oleh Hafsah, anak dari Umar dan juga istri dari Nabi Muhammad SAW. Kemudian pada masa pemerintahan Usman bin Affan koleksi ini menjadi dasar penulisan teks al Qur'an yang dikenal saat ini.
Abu Bakar meninggal pada tanggal 23 Agustus 634 di Madinah karena sakit yang dideritanya pada usia 61 tahun. Abu Bakar dimakamkan di rumah putrinya Aisyah di dekat masjid Nabawi, di samping makam Nabi Muhammad.
Komentar
Posting Komentar