Syekhul Islam al-Hafidz al-Imam al Allamah al-Suyuthi/as-Sayuthi telah
dilahirkan pada 849 h bersamaan 1445 m, mata beliau telah tertumpu pada
kitab-kitab , fikiran beliau membaca, hati beliau menghalusi
maklumatnya, mengenali, menghafal , melaksanakan, mentaati, menuruti,
tangan kanan beliau memegang pena, melakari , menjalani tulisan demi
tulisan tanpa lelah , tanpa jemu.
Al-Asyuthi
atau disebut juga as-Suyuthi, penisbatan pada Imam Suyuthi adalah
daerah dimana ayahnya pindah. Ayahnya menyebut daerahnya as-Suyuth
sedangkan kebanyakan orang lain menyebutnya al-Asyuthi. Dalam komentar
Imam Suyuthi sendiri pada muqaddimah kitab al-Itqan fi ‘Ulum al-Quran:
"Keduanya benar, bahkan dalam ilmu lughat (bahasa Arab) disebutkan 5
kata yang berbeda, 3 lainnya yaitu Usyuth, Asyuth, dan Suyuth.
Sesungguhnya Allah s.w.t telah
menganugerahi kepada Al-Sayuthi kekuatan ingatan , hafalan dan telah
dibekalkan dengan kesabaran dalam pembelajaran . Perhatikanlah, beliau
telah hafal al Quran padahal umurnya tidak sampai 8 tahun. Selepasnya menghafal pula kitab “al-Tanbih”- Imam Abi Ishaq al Sairazi, kemudiannya menghafal pula ” Tahzib al-Furu’ - Imam Baghawi , kemudiannya menghafal pula ” Rawdhah al-Tholibin” – Imam Nawawi – 10 jilid !!!!, dan kemudiannya menghafal pula ” Umdatul Ahkam”- al- Muqaddasi – matan hadis, kemudiannya lagi menghafal pula ” Minhajul Usul “ – al-Baidhawi ” – ilmu usul fiqh, dan “al-Fiyah” – Ibnu Malik-ilmu Nahwu, padahal ketika belum lagi bergelar ulamak, ustaz maupun sheikh?..
Ini
semua berlaku ditahap awal umur beliau, merupakan pesediaan untuk
menghadapi medan ilmu yang sangat luas dan dalam. Terbukti dan ternyata
“persediaan” beliau terserlah , apabila hadir dimajlis para ulamak ,
beliau menyebut semua hafalannya dari kitab kitab tersebut… kemampuannya
memeranjatkan…. Maka tahap “persediaan” telah dilaluinya dengan cemerlang , sementara tahap kedua iaitu “menadah” , “duduk didalam halaqah-halaqah pengajian Ilmu” dan “bertalaqqi” ilmu
dari para ulamak – Ini perkara yang tidak dapat tidak mesti dilalui
untuk menghasilkan ilmu yang sebenar-benarnya… juga telah dilalui beliau
dengan sebaik-baiknya.
Sesungguhnya para ulama telah
menganggap “hari-hari” yang sangat berharga sebagai suatu “Fardhu”
kewajipan untuk melalui tahap kedua ini, bagi setiap mereka yang mahu
mencapai kemuliaan “Ilmu” dengan title “al-Alim” “al-Ustaz” ,
“al-Allamah” , “al-sheikh” dan sebagainya..
Mengapakah
tidak begitu?, memang akan begitulah syaratnya, sebab kitab-kitab dan
buku-buku merupakan benda-benda yang bisu yang tidak akan berbicara
melainkan dimajlis para ulamak, dengan isyarat dan pencerahan dari
mereka.
Merekalah
yang akan mengerak-gerakkan huruf-hurufnya. Akan memancarkan
khazanah-khazanah gedung pengetahuan dari dasar lautannya. Seseorang
penuntut itu hanya akan bertemankan buku-bukunya saja, itulah saja yang
mampu dibuatnya jika tidak mengikut aturan-aturan ILMU .
Kelahiran Imam As-Suyuthi
Kelahiran
Imam Suyuthi tergolong unik. Jika Imam Syafi’i terlahir setelah 4 tahun
dalam kandungan sang ibu, sedangkan Imam Suyuthi terlahir di antara
tumpukan kitab-kitab. Dikatakan bahwa: "Laqab (julukan) Imam Suyuthi
adalah “Jalaluddin”, diambil dari nama ayahnya, juga dilaqabi dengan Ibn
al-Kutub (anaknya kitab). Az-Zarkali mengatakan, 'Saya membaca
keterangan dalam kitab al-Minah al-Badiyah halaman 5 dijelaskan bahwa
Imam Suyuthi dilaqabi Ibn al-Kutub karena dulu ibunda beliau pernah
meminta dicarikan kitab oleh sang suami. Ketika kitab itu sudah
dibukakan, perut sang ibu merasa kesakitan dan lahirlah jabang bayi di
antara tumpukan kitab." (Al-Itqan fi ‘Ulum al-Quran halaman 10).
Imam
as-Suyuthi bernama lengkap Abdurrahman bin al-Kamal Abu Bakr bin
Muhammad bin Sabiquddin bin al-Fakhr Utsman bin Nadziruddin Muhammad bin
Saifuddin Khidr bin Najmuddin Abi ash-Shalah Ayyub bin Nashiruddin
Muhammad Ibn Syaikh Humamuddin al-Khudhairi al-Assuyuthi. Silsilah
al-Khudhari yang dimilikinya ini merupakan silsilah keluarga di Baghdad.
Nenek moyangnya (Humamuddin) termasuk pengikut ahli hakikat dan juga
salah satu guru thariqah sufiyyah.
Adapun
kakeknya satu tingkat sebelum Humamuddin, termasuk orang yang mempunyai
kedudukan terhormat dan memimpin tampuk kepemimpinan dalam
pemerintahan. Diantara nenek moyang alim agung ini ada yang menjadi
kepala pemerintahan di wilayahnya masing-masing, sebagian lagi menjadi
petugas pengawas harga dan penimbangan, sebagian lagi menjadi pedagang
bekerja sama dengan Amir Syaihun. Dengan pendanaan sendiri dia
membangunan madrasah di Asyyuth yang kemudian diwakafkan untuk
kepentingan masyarakat. Ada juga keluarga as-Suyuthi yang menjadi
jutawan. Bisa dikatakan bahwa tidak ada satu pun dari mereka yang
memperhatikan dan berkhidmat untuk kepentingan ilmu pengetahuan kecuali
ayah beliau.
Silsilah
al-Khudhairi yang dimiliki pengabadi turats Islam ini merupakan
silsilah keluarga di Baghdad, Irak. Hal ini ia ketahui dari seseorang
yang memberitahukan bahwa dia telah mendengar dari ayah as-Suyuthi
tentang silisilah nenek moyangnya tersebut. Orang shaleh tersebut
bercerita bahwa nenek moyang as-Suyuthi adalah orang ajam (bukan Arab)
atau dari daerah belahan timur. Maka dari cerita tersebut jelaslah bahwa
daerah yang dimaksudkan adalah daerah Baghdad, Irak.
As-Suyuthi
lahir malam Ahad sesudah Maghrib, awal bulan Rajab tahun 849 H di
Kairo. Ketika sang ayah tercinta masih hidup, as-Suyuthi kecil pernah
dibawa kepada seorang Syaikh yang bernama Muhammad al-Majdzub, seorang
ulama besar yang tinggal di samping makam Sayyidah Nafisah.
Imam
as-Suyuthi dalam kitab Husn al-Muhadharah menyebutkan biografinya
sendiri dengan berkata: “Saya dalam kitab ini mencantumkan tentang
biografi pribadi sebagaimana yang telah dilakukan oleh para penulis
sebelum saya. Tidak sedikit yang menulis sebuah buku kecuali dituliskan
di dalam buku tersebut tentang biodata pribadi sang penulis. Sebagaimana
dilakukan pula oleh Imam Abdul Ghaffar al-Farisi dalam kitabnya Târîkh
Naisabur, Imam Yaqut al-Hamawi dalam kitabnya Mu'jam al-Buldan, Imam
Lisanuddin Ibnu al-Khathib dalam kitabnya Tarikh Gharnathah, al-Hafidz
Taqiyuddin al-Farisi dalam kitabnya Tarikh Makkah, al-Hafidz Abu
al-Fadhl Ibnu Hajar dalam kitabnya Qadha Mishr, dan Abu Syammah dalam
kitabnya ar-Raudhataini, dia adalah orang yang paling wara’ dan zuhud."
“Saya
dilahirkan pada waktu Maghrib malam Ahad tanggal 1 bulan Rajab pada
tahun 849 H/1445 M di Kairo Mesir, yakni 6 tahun sebelum ayah saya
meninggal. Kemudian pada saat ayahku masih hidup, saya dibawa kepada
Syaikh Muhammad al-Majdzub seorang pembesar para wali di samping Masyhad
an-Nafisi, kemudian beliau mendoakan saya. Saya tumbuh dalam keadaan
yatim, dan saya telah hafal al-Quran ketika berusia belum genap 8 tahun.
Saya juga telah hafal kitab al-‘Umdah al-Ahkam karya Ibn Daqiq al-'Id,
kitab Minhaj ath-Thalibin karya Imam an-Nawawi, kitab Minhaj al-Wushul
ila 'Ilm al-Ushul karya Imam al-Baidhawi, serta kitab Alfiyah Ibnu
Malik."
Al-Idrusi
dalam kitabnya an-Nur as-Safir halaman 51-52 berkata: “Ayahnya
meninggal pada malam Senin tanggal 5 bulan Shafar tahun 855 H. Ia
mewasiatkan as-Suyuthi kepada Syaikh Kamaluddin bin al-Hammam, lantas
beliau pun menjaga, mengurus serta mendidik as-Suyuthi."
Aktifitas Keilmuan Imam As-Suyuthi
Tanda-tanda
kealiman beliau sudah tampak sejak umur 6 tahun. Ketika berusia kurang
dari 8 tahun, beliau telah hafal al-Quran, juga kitab al-‘Umdah, Minhaj
dan Alfiyah Ibnu Malik. Pada usia yang cukup muda, beliau telah mulai
mengarang buku. Buku pertama yang menjadi buah karyanya adalah Syarh
al-Istifadah wa al-Basmalah. Buku tersebut kemudian diperlihatkan pada
gurunya, Syaikh Alamuddin al-Bulqini, dan sang guru pun bekenan menulis
kata pengantar dalam kitab tersebut.
Pada
awal tahun 864 H (usia 15 tahun) Imam as-Suyuthi semakin mendalami
belajarnya. Ia belajar ilmu fikih dan nahwu dari beberapa guru dan
belajar ilmu faraidh dari al-Allamah asy-Syaikh Syihabuddin
asy-Syarimsahi. Diceritakan bahwa umur Syaikh tersebut telah melewati
lebih dari seratus tahun. Dan dari Syaikh tersebut, as-Suyuthi belajar
ilmu faraidh dari kitab Majmu'. Pada awal tahun 866 H ia mulai mengajar
bahasa Arab.
Kendatipun
sudah mengajar dan mengarang namun aktivitas belajar masih giat ia
lakukan. Sebab semakin seseorang belajar semakin merasa bodoh dan
semakin tahu betapa banyak hal yang belum dan mesti diketahui. Oleh
karena itu as-Suyuthi juga belajar kitab Minhaj, Syarh al-Bahjah dan
Hasyiyah-nya serta Tafsir Baidhawi pada Syaikh Syarafuddin al-Munawi.
Dalam bidang ilmu hadits dan ilmu tata bahasa, Imam Suyuthi berguru pada
Syaikh Taqiyuddin asy-Syibli al-Hanafi selama 4 tahun. Dia juga telah
memberikan kata pengantar dalam kitab Syarh Alfiyyah dan kitab Jam'
al-Jawami' dalam ilmu tata bahasa Arab. Imam Suyuthi juga berguru pada
Syaikh Muhyiddin al-Kafiji dan Syaikh Saifuddin al-Hanafi dalam berbagai
disiplin ilmu. Belajar, mengajar dan mengarang hampir menjadi nafas
guru besar ini.
Dalam
pengembaraan mencari ilmu, beliau pernah singgah di Syam, Hijaz, Yaman
Hindia, Maroko dan Takrur. Ketika melaksanakan ibadah haji beliau
mengharap berkah dengan minum air zam-zam dengan tujuan bisa seperti
Imam Sirajuddin al-Bulqini yang alim dalam bidang fiqih dan Imam Ibnu
Hajar dalam bidang hadits.
Dengan
kapasitas keilmuannya, Imam Suyuthi telah menghasilkan buah karya yang
sangat banyak, mencapai 600 atau lebih karangan dari berbagai fan ilmu.
Beberapa karangan yang terkenal adalah bidang tafsir dan ilmu tafsir
seperti Tafsir Jalalain, al-Itqan, Lubab an-Nuqul, dll. Karena itulah
beliau mendapat julukan Punggawa al-Quran abad ke-8, meski ini bukan
satu-satunya julukan yang disematkan beliau.
Menurut
as-Sa’id Mamduh, karya Imam Suyuthi mencapai 725 kitab. Diantaranya
ialah al-Itqan fi 'Ulum al-Quran, ad-Dur al-Mantsur fi at-Tafsir bi
al-Ma’tsur, Lubab an-Nuqul fi Asbab an-Nuzul, Mufahhamat al-Aqran fi
Mubhamat al-Quran, al-Iklil fi Istinbath at-Tanzil, Takammulah Tafsir
Syaikh Jalauddin al-Mahalli, Hasyiyah 'ala Tafsir al-Baidhawi, Tanasuq
ad-Durar fi Tanasub as-Suwar, Syarh asy-Syathibiyyah, al-Alfiyyah fi
al-Qiraat al-‘Asyr, Syarh Ibnu Majah, Tadrib ar-Rawi, ath-Thib
an-Nabawi, Is’af al-Mubattha bi ar-Rijal al-Muwattha, al-'Alai Mashnu'ah
fi al-Ahadits al-Maudhu'ah, an-Nakt al-Badi'at 'ala al-Maudhu'at, Syarh
ash-Shudur bi Syarh Hal al-Maut wa al-Qubur, al-Budur as-Safirah 'an
Umur al-Akhirah, ar-Riyadh al-‘Aniqah fi Syarh Asma' Khair al-Khalifah,
al-Asybah wa an-Nadzair, Jam’ al-Jawawi', Tarjumah an-Nawawi, Diwan
Syi’r, Tuhfah adz-Dzarfa' bi Asma' al-Khulafa', Tarikh Asyuth, Tarikh
al-Khulafa' dan Badai' az-Zuhur fi Waqai' ad-Duhur.
Dalam
penguasaan ilmu, beliau mengelompokkanya dalam beberapa kelompok.
Pertama, adalah kelompok ilmu-ilmu yang paling beliau kuasai. Kedua,
ilmu-ilmu yang kadar pengusaan beliau di bawah kelompok pertama. Sedang
ketiga, ilmu-ilmu dengan kadar penguasaan yang di bawah kelompok kedua,
begitu seterusnya.
Adapun
kelompok pertama ada tujuh ilmu yaitu ilmu tafsir, hadits, fiqih,
nahwu, ma’ani, bayan dan badi’. Kelompok kedua ilmu ushul fiqh, ilmu
jadal dan tashrif. Kelompok ketiga ilmu insya’ tarassul dan ilmu
faraidh. Kelompok keempat ilmu qira’at dan kelompok kelima ilmu
kedokteran. Untuk ilmu hisab, beliau menganggap yang paling sulit
dikuasai. Demikian sulitnya ilmu tersebut diibaratkan sepeti memikul
gunung. Namun demikian, hal ini tidak mengurangi kapasitas keilmuan
beliau karena begitu banyaknya ilmu selain ilmu hisab yang beliau
kuasai. Maka sangat layak beliau mampu melaksanakan ijtihad, karena
memang telah memiliki perangkat dalam berijtihad.
Ilmu adalah AGAMA, maka perhatikanlah darimana diperolehi agama kita..
Guru-guru Imam Sayuthi.
Pada
tahun 864 h , al-Sayuthi mula bertalaqqi ilmu dari para Sheikh . Tidak
ada seorangpun yang pernah beliau kenali melainkan beliau akan
mengadapnya , bermulazamah dengan sungguh-sungguh dan dalam masa yang
lama . Beliau akan mendapatkan intisari ilmu yang ada pada setiap sheikh
tersebut. Guru-guru yang sangat ramai menjangkau 150 orang, mereka
telah meninggalkan kesan yang mendalam pada peribadi al-Sayuthi. Jika
dihimpunkan pula dengan guru-guru yang hanya mengijazahkan sanad-sanad
dan sebagainya maka berjumlah 600 orang.
Bertuah Sungguh al-Sayuthi, guru terawal yang
mengasuhnya adalah Al-Allamah al Muhaqiq Kamal bin Humam- pengarang
kitab Fathul Qoder Syarah Hidayah- Fiqah Mazhab Hanafi, kitab rujukan
Fiqh Hanafi.
Kemudian berguru pula kepada Sheikhul Islam, Qodhiul Qudhah al-Imam Al-Bulqini-
al Sayuthi telah belajar dengan Sheikh ini dari tahun 865-868 h. Imam
Bulqini ini telah mengijazahkan keizinan mengajar dan berfatwa kepada
al-Sayuthi pada tahun 867 h.
Kemudian berguru pula kepada Al-Shulthan Al Hanafi- Shamsuddin Al-Hanafi –
yang terkenal dengan kesolehan, uzlah , tumpuan ibadah dan mengajar.
Al- Syauthi belajar kitab-kitab Lughah dan Akidah daripada beliau ini.
Kemudian berguru pula kepada Sheikh Syarafuddin Yahya Al-Manawi.- Al
Sayuthi telah mulazamah dengan Sheikh ini selepas kewafatan al Bulqini
tahun 868 h. Sheikh ini adalah guru Fiqah dan Ilmu-ilmu Syariat al
Sayuthi.
Berguru kepada Imam Taqiyuddin Yahya bin Muhammad al-Syumuni.- Melazimi
Sheikh ini selama 4 tahun bermula tahun 868 h , dan telah
mengambil/belajar darinya ilmu hadis riwayah dan dirayah . Merupakan
Sheikh yang teragung dalam Ilmu Arabiyah dan ilmu ma’ani.
Berguru pula kepada Al Allamah Mahyuddin al-Kafiiyaji- telah belajar al-Sayuthi kepada mahaguru ini selama 14 tahun .
Kepada mahaguru ini al-Sayuthi telah melaziminya dalam masa yang sangat
lama. al Sayuthi telah belajar dari mahaguru ini Ilmu Tafsir, Ilmu
Usul, Nahwu dan semua pelajaran Bahasa Arab. Mahaguru ini telah
mencatitkan Ijazah besar kepada al-Sayuthi untuk mengajar semua
matapelajaran .
al-ٍٍSayuthi mengisahkan saat-saat pembelajaran beliau: ”
Rutin setiap minggu ,daku setiap lepas subuh hadir kemajlis Imam
Bulqini, sehingga hampir waktu Zuhur. Kemudian sehingga hampir masuk
waktu Asar daku kemajlis Imam al-Syamuni – keadaan begini berlaku selama
tiga hari : hari sabtu, isnin dan khamis. Manakala hari ahad dan selasa
pula daku hadir kemajlis Sheikh Sahamsuddin al-hanafi pada awal pagi.
Manakala selepas zuhurnya pula pada dua hari ini dan hari rabu, daku
hadir kemajlis al sheikh Muhyuddin al Kaafiiyaji”
Perjalanan Imam Suyuthi dalam pencarian Ilmu.
Begitulah kebiasaannya mesti seseorang ulama itu menjelajah seluruh pelosok dunia untuk mencari khazanah-khazanah ilmu yang terpendam atau menggali lombongnya.
Ini adalah tradisi para ulama Islam kita.
Mereka menjelajah kenegara-negara lain, dengan mereguk kesusahan dalam
perjalanan , mara–bahaya dalam perjalanan, rasa takutkan musuh, sejuk
keseorangan, tidak dikenali untuk dihormati, maklumlah siapa yang kenal
seorang ulama bila bermusafir ditempat yang tidak dikenali… demi untuk
Ilmu dan Agama Lillah ta’ala, mereka lakukan juga.
Al-Sayuthi berangkat
menuju ke Sham dan Hijaz untuk menunaikan haji pada tahun 869 h.
Setahun kemudiannya beliau pergi ke daerah daerah di Mesir. Disetiap
tempat yang dilaluinya beliau akan bertemu para ahli ilmu ,mengambil ilmu dari mereka dan mereka pula mengambil darinya. Begitulah harta benda para ulamak. Perniagaan mereka tidak pula terlalu murah dan tidak terlalu mahal.
Sangat Istimewa pada al-Sayuthi , beliau telah mencatit catitan disetiap perjalanan (rehlah ilmiah) beliau. Peristiwa yang berlaku, dan dengan siapa beliau telah bertemu, maka disetiap rehlah beliau terdapat kitabnya, sepertimana kita boleh menjumpainya dalam kitab “al-Rihlah al fayyumiyah, wal- makkiyah wal dumyathiyyah”.
Dalam kitab Husn al muhadarat- “Daku telah bermusafir, Alhamdulillah, kenegeri Sham, Hijaz, Yamen, India, Maghribi dan Takarrur”.
Sekalipun setengah
pendapat mengatakan rehlah ilmiyah Al Sayuti tidak lebih daripada
sekitar negara Mesir dan Mekah, tetapi dapat dipastikan Al Sayuti memang
menjelajah ke luar negara dalam rehlah ilmiyah beliau.
Kelebihan al Imam Suyuthi menghafal dan mencerna ilmu.
Sesungguhnya ilmu
pengetahuan ditancapkan pada kewujudan Al-Sayuti, jikalau anda berkata
Al-Sayuti hidup untuk ilmu dan hidup dengan bernyawakan ilmu, anda
adalah benar dengan pendapat tersebut. Satu bukti yang sangat baik untuk
pendapat tersebut ialah perkataan beliau, “Sesungguhnya daku
seorang laki-laki yang diberi cinta terhadap ilmu, membuat penelitian
padanya, yang halusnya ataupun yang zahirnya. Menyelami hakikat-hakikat,
menyelusuri kehalusan, memeriksa asal usul. Daku telah dikurniakan
sedemikian sehinggalah tidak ada lagi tempat tumbuh sehelai bulu
ditubuhku melainkan akan disebatikan dengannya.”
Nampaknya
perkataan beliau seolah-olah berlaku riak, tetapi itulah yang
sebenarnya berlaku dan merupakan apa yang disebut sebagai tahaddus
binni’mah. Perhatikanlah bagaimana akan berlaku sekiranya
seseorang yang telah dilambung sesuatu perasaan cinta terhadap suatu
perkara maka pertautan hati dan keasyikan akan berlaku. Begitulah
keadaannya dengan Al Sayuti. Beliau tidak riak, bukan menunjuk-nunjuk,
tidak sombong. Yang berlaku adalah asyik, kerinduan terhadap ilmu
sehingga sampai ke dalam lubuk hatinya yang dalam dan menjalar keseluruh
urat-urat dan sendi sehingga seluruh kehidupannya dicurahkan pada tiap
sesuatu kearah mendapatkan ilmu , menghafal dan memeliharanya.
Beliau
menyelami perbahasan kitab-kitab menerusi pemikiran yang tersembunyi
dan daurah majlis ilmu dari siang hingga ke malamnya agar dapat memetik
buah-buahan yang indah, agar dapat manfaat dan memberi manfaat kepada
orang lain. Telah diberitakan berkenaan sikapnya itu, “Beliau
tidak tidur pada malam hari melainkan sedikit sekali. Tidak pernah
setiap kali dikala daku melihat beliau melainkan beliau sedang membaca
atau menulis atau membahaskan ilmu.”
Sesunguhnya
Al-Sayuti telah dianugerahkan kekuatan ingatan dan hafalan sehingga
mengkagumkan para gurunya. Kekuatan tersebut menolongnya bagi
mempertingkatkan pencapaian ilmiah beliau. Berkekalan sepanjang hayat
beliau sehingga kematian beliau, tidak dijengah sifat lupa atau nyanyuk.
Beliau pernah memperikan hal tersebut dengan katanya, “Tidak
berlaku pada diriku satu perkara yang daku akan segera menanggapinya
tanpa teliti dan kaji, dan tidak pernah mendengar atau melihat satu
perkara kemudian melupakannya”.
Sebenarnya
kekuatan ingatan yang seperti ini merupakan persediaan dan satu
pertolongan yang sangat mencukupi untuk menghafal nas-nas dan
hadis-hadis Nabawi. Sehingga beliau melebihi rakan-rakan seangkatan
dalam pencapaian ilmiah sebagaimana yang akan anda jumpai buktinya di
dalam setiap sesuatu perbahasan ilmiahnya. Al-Sya’rani pernah
menceritakan bahawa Al-Sayuti sangat banyak menjawab soalan-soalan
pertanyaan dengan penjelasan yang mudah difahami. Setelah menjawab
setiap soalan, beliau akan berkata, (“Azzihnu khawaan-
Silalah buka kitab si polan dan kiralah muka surat sekian-sekian, baris
sekian-sekian, nanti kamu akan menjumpai persoalan ini insyallah seperti
mana yang telah aku katakan tadi”.) Apabila diperiksa kitab-kitab rujukan tersebut maka didapati jawapannya adalah benar.
IMAM SUYUTHI DAN ILMU LUGHAH ARABIAH.
Tidak akan bertambah ilmu pengetahuan melainkan berwasilahkan melalui BAHASA. Bahasa Arab sangat istimewa disebabkan anugerah Allah terhadap NabiNya yang
penutup dan diturunkun kitab Al- Quran dengannya. Seperti itu juga
wajib mengetahui cara sembahyang dan zikir di dalam sembahyang menerusi
Bahasa Arab. Oleh sebab yang demikian, Imam Al-Syafie telah menjelaskan
perihal wajib mengetahui Bahasa Arab bagi setiap penuntut ilmu dan dan
lazim bagi setiap Muslim mempelajarinya demi kesempurnaan agama. Boleh
dilihat hal ini di dalam kitab al Risalah karangan Imam Al-Syafie
mukasurat 48 hingga 49.
Al-Sayuti yang
bermazhab Syafie, sangat mengamat- amati kalimah dan anjuran Imam
Syafie, imam ikutannya yang agung itu. Beliau telah meluaskan
pengetahuan Arabiahnya sehingga diberi gelaran Al A’lamah Al Lughawi(Imam
yang sangat alim pada ilmu bahasa). Ada sarjana yang mengatakan
karangan beliau tentang bahasa menjangkau 100 buah. Lihat sahaja
kehebatan kitab al asbah wan nazhoir fin nahw (komentar matan alfiyah Ibnu Malik) berkenaan ilmu nahu yang sangat besar dan berjilid-jilid pula. Lihat juga al Muzhir, perbicaraan lughah/bahasa arab yang sangat halus dan luarbiasa.
Al-Sayuti
mengkhabarkan puji-pujian guru beliau, Al Imam Taqiyuddin Ahmad bin
Muhammad Al-Shumuni terhadap kitab Jamu’l Jawami’ itu dengan taajubnya
keheranan. Sheikh itu berkata, “Daku telah meneliti satu-satunya kitab Jamu’l Jawami’ ini, dan karangan yang merupakan permata yang terkarang.”
Al-A’lamah
Mahyuddin al Kafiyaji, Al-Sayuti telah menceduk lautan ilmu selama 14
tahun daripada Sheikh ini. Beliau merupakan guru utama bagi Al- Sayuti,
Al-Sayuti telah mensifatkan keperibadian Sheikhnya ini dalam kitab
Al-Itqhon dengan ungkapan “Mahaguru bagi segala para ustaz,
merupakan mata bagi seseorang manusia yang meneliti dan mengkaji,
intisari bagi para ulamak semasa, A’llamah (ulamak yang sangat alim)
semasa, kebanggaan zaman. Daku tidak pernah masuk menemuinya setiap kali
dalam sehari melainkan akan mendapat faedah bertambah ilmu pada perkara
yang tidak pernah aku dengar daripada pentahkikan yang sangat hebat dan
berharga.”
Di dalam kitab al Asbah wan Nazhoir, pada bicara ilmu Nahu, Al-Sayuti menceritakan pelajaran beliau dengan gurunya ini. “Pada
suatu hari gurunya berkata, “Engkau i’rablah ayat ‘Zaidun Qoo iimun’.”
Daku berkata. “Ya Sheikh, anda buat kami seperti dikedudukan
kanak-kanak, anda hanya bertanya berkenaan hal ini sahaja?” Sheikhku
menjawab, “Pada ayat “Zaidun Qoo iimun” terdapat 113 perbahasan” .
Maka As Sayuti merasa heran dengan
jawapan Sheikhnya itu lalu beliau tidak berdiri melainkan terus
mencapai kitab-kitab beliau untuk mencatit setiap satu perbahasan
tersebut, bermula daripada perbahasan ilmu Nahu sehingga hampir kepada
perbahasan Falsafah dan Mantik. Yang demikian disebabkan Al A’lamah
Mahyuddin al Kafiyaji sangat mendalami ilmu-ilmu Lughah dah ‘Aqliah.
Lihatlah
persediaan ilmu-ilmu alat Imam Sayuthi, sebelum masuk mengharungi
lautan Ilmu Hadis dan tafsir. Betapa kukuh dan mantapnya kemampuan
persediaan dan bekalan beliau untuk mencerna danmenilai hadis-hadis dan ayat-ayat Quran.
Imam Sayuthi telah menulis lebih daripada 100 buah kitab dan risalah berkaitan Ilmu Nahu dan Bahasa (lughah). Karangan beliau yang terpenting berkenaan Lughah, Nahu (tatabahasa),Ilmu Bayan dan Badi’ (iaitu dua ilmu cawangan ilmu lughah) iaitu : 1. al-Muzhir. 2. al-Akhbar al Marwiyah fi sababi wadh’i al Arabiyah. 3.
al-Asybah wa Al Nazooir fil lughah- Nama yang sama tetapi adalah sebuah
kitab lain daripada kitab al Asybah pada bicara ilmu Qawaid Fiqhiyah
Mazhab Shafie. 4. Lum’ah al-Isyraq fil Isytiqaq. 5. al-Muhazzab fima warada fi al-quran min al Mu’arab. 6. Ta’rif al Daqiqah fi-Idrak al Haqiqah. 7. Ta’rif al A’jam bi huruf al Mu’jam. 8. Tahqiq al Tadhmin – satu risalah kecil setebal 10 mukasurat. 9. Huruf al Haija.- sebuah risalah berkenaan huruf ejaan. 10. Maudhu’aat mutanasyirah fi kitab al Kanzul Madfun.
Kesemua kitab tersebut adalah karangan dan perbahasan beliau yang terpenting dalam bidang bahasa (lughah) .
Adapun karangan dan perbahasan beliau dibidang Ilmu Nahu(tatabahasa) dan Ilmu Sharaf (ilmu tentang asal-usul setiap kalimah, makna dan huruf-hurufnya) : 1. al Iqtirah fi Usul al Nahwu. 2. Jam’ul Jawami’. 3. Ham’ul al Hawami’ fi Syarh Jam’ul Jawami’. 4. al Faridah fi al Nahwu , wa Tasrif wa al Khath. 5. al-Nukat a’la Alfiyah , wa al-Kaafiyah, wa al- Syafiah , wa al- Syuzuz, wa al Nuzahhah. 6. فتح القريب على المغنى اللبيب المصاعد العلية فى القواعد النحوية. 7 در التاج فى اعراب مشكل المنهاج. 8 التوشح على التوضيح 9 السيف الصقيل فى حواشى ابن عقيل. 10 الموشح . 11 شرح القصيدة الكافية فى التصريف .12
13. شرح التصريف لابن مالك البهجة المرضية فى شرح ألفية ابن مالك .14 السلسلة .15.
Adapun kitab “Al Muzhir” merupakan
karangan beliau dibidang Lughah yang sangat bernilai . Dengan kitab ini
telah meningkat sedikit kecergasan dan keupayaan karangan beliau.
Sebanyak 50 pelbagai perbahasan dalam bidang Lughah telah dikumpulkan dalam bentuk susunan yang mengikut kaedah penyusunan ilmu dengan method yang jelas.
Rujukan beliau dalam karangan al Muzhir ini menjangkau 171 buah kitab-kitab induk yang membahaskan Lughah, Adab (sastra arab), Tarajim (biodata para ulamak), Fiqah dan lain-lain.
Al Muzhir dianggap sebagai memadai untuk dijadikan petunjuk yang jelas bahawa Imam
Sayuthi adalah seorang ulamak yang melimpah-ruah pengetahuannya
dibidang Lughah (bahasa Arab) , dan ulamak yang bagaikan lautan. Ini
kerana beliau mampu untuk mengambil, memetik (iqtibas) dan memahami
ibarat nash-nash kalam para pengarang tersebut sebagai bahan kitab al
Muzhir beliau.
Olehitu dikatakan al Muzhir adalah “Sebesar-besar karangan Imam Sayuthi dibidang *Fiqh Lughah*, dan dianggap karangan
yang menghimpunkan semua karangan ilmu Lughah dan karangan yang lengkap
dalam penyusunan pelajaran bahasa (lughah arab)”.
IMAM SAYUTHI DAN ILMU HADIS.
Pada tahun 872 h.
, sewaktu berusia 23 tahun, Imam Sayuthi mula mengajar Ilmu Hadis
dengan kaedah Imlai, satu kaedah yang tertinggi , dengan cara guru
membaca hadis dari hafalannya tanpa melihat kitab, dan murid
mendengarnya kemudian mencatitkannya.
Dikatakan
kaedah ini telah berhenti, tiada ulamak yang mempraktikkanya lagi
semenjak wafat Imam Ibnu Hajar al Asqolani.Sayuthi menghidupkannya
kembali di masjid Jami’ Ahmad bin Thulun.
Ketika berusia 37 tahun iaitu pada tahun 886 Hijrah beliau mula secara serius mengarang.
Imam
Suyuti merupakan ulama’ hadith yang paling alim pada zamannya, seorang
Al-Hafiz yang amat diyakini, mengetahui lafaz-lafaz hadis yang gharib
(ganjil) dan mampu mengistinbathkan (mengeluarkan) hukum-hukum darinya.
Pada zaman Ibnu Hajar, terdapat beberapa hadith yang tertangguh kerana
tidak diketahui siapa perawi dan kedudukan hadith tersebut. Lalu hadith
tersebut diajukan kepada Imam Suyuti. Dengan kemahirannya, beliau telah
mendatangkan periwayat dan kedudukan hadith tersebut.
Imam
Suyuti menyatakan bahawa Al Hafiz Ibnu Hajar telah menghafaz hampir 20
ribu hadith. Manakala aku telah menghafaz sebanyak 200 ribu hadith.
Sekiranya ada orang lebih daripada itu, pasti aku akan menghafaz lebih
daripadanya.Moga-moga tidak ada di atas permukaan bumi ini orang lebih
banyak menghafaz dari ini(1) (pada zamannya).
Syeikh
Al Allamah Zakaria bin Syeikh Al Allamah Muhammad Al Mahalli Asy
Syafi’e juga pernah menceritakan tentang kisah pertemuan Imam Suyuti
dengan Rasulullah s.a.w. Imam Suyuti menceritakan:
Pada
suatu hari, aku bermimpi melihat Nabi s.a.w seolah-olah aku sedang
berada di hadapan Baginda s.a.w. Maka aku menyebut kepada Baginda akan
kitab hadith yang baru aku karang iaitu kitab Jami’ul Jawami’. Aku
berkata kepadanya: Adakah kamu mahu aku membacakan kepada kamu sedikit
daripadanya? Maka Baginda s.a.w berkata kepadaku: Bawalah kemari hadith
itu kepadaku wahai syeikh!. Ini adalah satu berita gembira yang lebih
besar dan berarti bagiku daripada dunia dan seisinya.
Karomah Imam As-Suyuthi
Syaikh
Syuaib Khatib Masjid Al-Azhar bercerita, ketika Imam Suyuthi sedang
sakit yang menyebabkan kemangkatannya dia datang menjenguknya. Ia
mencium kakinya, lalu meminta supaya Imam Suyuthi berkenan memaafkan
kesalahan orang-orang ahli fikih yang pernah menyakitinya. Dengan tenang
Imam Suyuthi menjawab: "Wahai Saudaraku, sebetulnya aku telah memaafkan
mereka ketika pertama kali mereka menyakitiku. Aku menampakkkan
kemarahanku pada mereka, lalu aku menulis sanggahan untuk mereka. Semua
itu aku lakukan supaya mereka tidak berani lagi menyakiti orang lain."
Mendengar kelapangan hati Imam Suyuthi, Syaikh Syuaib berkomentar: "Memang inilah yang sudah kuduga dari kebaikan tuanku."
Meskipun
Imam Suyuthi telah memaafkan mereka, tapi masih saja ada dari mereka
yang terkena bencana dari Allah Swt. sebagai pelajaran bagi diri mereka
sendiri dan orang lain. Imam asy-Sya'roni pernah bercerita:
"Aku
melihat salah seorang yang pernah memukul Imam Suyuthi dengan bakiyak
(sandal dari kayu), walaupun sudah dicoba oleh Allah dengan kefakiran
tapi dia masih sangat tamak dengan dunia. Setiap kali dia melihat orang
membawa ayam, gula, madu atau beras, persis seperti orang gila dia
selalu mengatakan: "Juallah barang ini padaku!" Setelah diambilnya
barang tadi, seperti merampas, dia pergi bersembunyi dan tidak mau
membayarnya. Setiap ditagih selalu saja ia mencari-cari alasan untuk
mengulur-ulur. Sampai pemilik barang bosan untuk menagihnya. Maka si
tamak ini akan memikul tanggungan yang jauh lebih besar dan berat kelak
di hari kiamat. Dan ketika orang yang menyakiti Imam Suyuthi ini
meninggal, tak seorangpun yang bersedia mengiringi jenazahnya. Semoga
Allah memelihara kita . Amin."
Suatu
ketika di siang hari, Imam Suyuthi berada di zawiyah (mushala kecil)
Syaikh Abdullah al-Juyusyi di daerah al-Qarrafah. Sang alim nan sufi ini
berkata pada pembantunya: "Aku ingin salat Ashar di Masjidil Haram,
tapi dengan syarat kamu harus menyimpan rahasia ini sampai aku
meninggal!"
Pembantunya itu pun menyanggupi. Imam Suyuthi kemudian menggandeng tangan pembantunya seraya berkata: "Pejamkan matamu."
Lalu Imam Suyuthi berlari kecil kira-kira 27 langkah. "Bukalah matamu," perintah Imam Suyuthi kemudian.
Tiba-tiba
mereka sudah sampai di pintu Ma'la. Kemudian mereka ziarah ke makam
Sayyidah Khadijah, Imam Fudhail bin Iyadh, Abdullah bin Uyainah, dan
lain-lainnya. Setelah itu mereka masuk Masjidil Haram, tawaf, shalat dan
minum zam-zam. Di sini Imam Suyuthi mengatakan: "Wahai Fulan, yang
mengherankan bukanlah karena bumi dilipat sehingga kita bisa menempuh
jarak ribuan mil dalam beberapa saat. Tapi yang mengherankan adalah
karena orang-orang Mesir yang bermukim di sini tidak ada yang mengetahui
kita."
"Baiklah,
kita sudah ziarah, shalat dan tawaf. Kamu mau pulang lagi bersamaku
atau menetap di sini sampai datangnya musim Haji?" Tanya Imam Suyuthi
pada pembantunya.
"Aku mau bersama Tuan saja," demikian jawab pembantu itu lugu.
Lalu
mereka pergi ke Ma'la, dan seperti pada keberangkatan tadi Imam Suyuthi
memintanya untuk memejamkan mata. Setelah Imam Suyuthi melangkah
beberapa jengkal, dan mereka membuka mata, tiba-tiba di hadapan mereka
adalah zawiyah Syaikh al-Juyusyi.
Adalah
Syaikh Abdul Qadir asy-Syadzili, murid Imam Suyuthi, dalam kitab Tanwir
al-Hawalik Imam Suyuthi pernah mengatakan: "Aku pernah melihat Nabi
Saw. dalam keadaan terjaga."
Kemudian muridnya itu bertanya: "Berapa kali Tuan melihat Nabi Saw. dalam keadaan terjaga?"
"Lebih dari 70 kali," jawab Imam Suyuthi.
Kewafatan Imam As-Suyuthi
Imam
Suyuthi telah menghabiskan umurnya untuk mengajar, memberikan fatwa dan
mengarang. Akan tetapi menjelang usia tuanya ia meninggalkan tugas
mengajar dan berfatwa, dan lebih memilih ber-uzlah dari keramaian dunia
untuk beribadah dan mengarang saja.
Imam
agung ini meninggal pada usia 61 tahun 10 bulan 18 hari, yaitu pada
malam Jum'at tanggal 19 Jumadil Ula tahun 911 H. Di Khusy Qusun di luar
pintu Qarafah Kairo, Mesir, jasad mulianya disemayamkan. Letaknya
berdekatan dengan makam Imam Syafi’i dan Imam Waqi’ (guru Imam Syafi’i).
Makamnya selalu tertutup, tidak bisa masuk ke dalam kecuali dengan
menghubungi juru kunci.
Namun
menurut al-Idrusi, "Imam as-Suyuthi meninggal pada waktu Ashar tanggal
19 Jumadil Ula tahun 911 H/1505 M. Beliau dishalatkan di Masjid Jami’
al-Afariqi di ruangan bawah. Kemudian beliau dimakamkan di sebelah timur
pintu al-Qarafah. Sebelum meninggal dia mengalami sakit selama 3 hari.”
Makam
Imam Suyuthi hanya berjarak ± 3 km dari Universitas Al-Azhar, itu
artinya hanya butuh belasan menit dengan berkendara bus, taxi atau rent
car untuk menuju ke sana. Disamping juga letaknya yang sangat strategis,
kurang lebih 50 meter dari Mahattah Sayyidah Aisyah.
|
Komentar
Posting Komentar