Habib
Salim bin Ahmad bin Husain bin Sholeh bin Abdullah bin ‘Umar bin
‘Abdullah (Bin Jindan) bin Syaikhan bin Syaikh Abu Bakar bin Salim
adalah ulama dan wali besar ini dilahirkan di Surabaya pada 18 Rajab
1324. Memulakan pengajiannya di Madrasah al-Khairiyyah, Surabaya sebelum
melanjutkan pelajarannya ke Makkah, Tarim dan Timur Tengah. Berguru
dengan banyak ulama. Seorang ahli hadis yang menghafal 70,000 hadis
(i.e. ada yang mengatakan ratusan ribu hadis). Beliau juga seorang ahli
sejarah yang hebat, sehingga diceritakan pernah beliau menulis surat
dengan Ratu Belanda berisikan silsilah raja-raja Belanda dengan tepat.
Hal ini amat mengkagumkan Ratu Belanda, lantas surat beliau diberi
jawaban dan diberi pujian dan penghargaan, sebab tak disangka oleh Ratu
Belanda, seorang ulama Indonesia yang mengetahui silsilahnya dengan
tepat. Tetapi tanda penghargaan Ratu Belanda tersebut telah dibuang oleh
Habib Salim kerana beliau tidak memerlukan penghargaan.
Dalam
usaha dakwahnya, beliau telah mendirikan madrasah di Probolinggo serta
mendirikan Majlis Ta’lim Fakhriyyah di Jakarta, selain merantau ke
berbagai daerah Indonesia untuk tujuan dakwah dan ta’lim. Mempunyai
banyak murid antaranya Kiyai Abdullah Syafi`i, Habib Abdullah bin Thoha
as-Saqqaf, Kiyai Thohir Rohili, Habib Abdur Rahman al-Attas dan ramai
lagi.
Habib Salim juga aktif dalam perjuangan
kemerdekaan Indonesia sehingga dipenjarakan oleh Belanda. Di zaman
penjajahan Jepang, beliau juga sering dipenjara kerana ucapan-ucapannya
yang tegas, bahkan setelah kemerdekaan Indonesia, beliau juga sering
keluar masuk penjara karena kritikannya yang tajam terhadap kerajaan
apalagi dalam hal bersangkutan agama yang sentiasa ditegakkannya dengan
lantang.
Sifat dan kepribadian luhurnya serta ilmunya
yang luas menyebabkan banyak orang ramai yang berguru kepada beliau,
Presiden Soerkano sendiri pernah berguru dengan beliau dan sering
dipanggil ke istana oleh Bung Karno. Waktu Perjanjian Renvil
ditandatangani, beliau turut naik atas kapal Belanda tersebut bersama
pemimpin Indonesia lain. Beliau wafat di Jakarta pada 10 Rabi`ul Awwal
dan dimakamkan dengan Masjid al-Hawi, Jakarta……Al-Fatihah.
Ratapan 10 Muharram – Fatwa Habib Salim Lantaran
Revolusi Syiah Iran yang menumbangkan kerajaan Syiah Pahlavi, maka ada
orang kita yang terpengaruh dengan ajaran Syiah. Bahkan ada juga
keturunan Saadah Ba ‘Alawi yang terpengaruh kerana termakan dakyah Syiah
yang kononnya mengasihi/mencintai Ahlil Bait.
Pada kitab Ar Ra’ah Al Ghamidhah fi Naqdhi Kalaamir Raafidhah,
Habib Salim bin Ahmad bin Jindan, mufti Indonesia pada masanya, secara
gamblang menerangkan bahwa beliau dan termasuk seluruh datuk-datuknya
secara estafet hingga Sayidina Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘Anhu,
sangatlah menghormati dan membela kehormatan para Shahabat Nabi
Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam. Karena beliau dan datuk-datuknya adalah
menganut mazhab Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Dalam kitab
tersebut disebutkan, “Siapakah kaum Rafidhah itu? Mereka adalah orang
orang yang mengklaim bahwa diri mereka mencintai keluarga Rasulullah
Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, Pada hal kenyataannya tidaklah demikian.
Mereka menganggap diri mereka mengikuti jalan pembesar keluarga
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam seperti Imam Hasan dan Imam
Husain, ayah mereka Imam Ali, Ali bin Al Husain, dan Zaid bin ‘Ali
Radhiyallahu ‘Anhu. Sementara mereka tidak mengakui keberadaan
orang-orang seperti Abu Bakar, Umar, Utsman, Muawiyah, ‘Amr bin Al ‘Ash,
sehingga mereka mencaci makinya.”
Habib Salim sangat
tegas dalam melawan kaum Syi’ah Rafidhah yang salah satu ciri khas
mereka adalah mencela, mendiskreditkan, melaknat hingga mengkafirkan
para Shahabat Nabi, karena hal itu sangat bertentangan aqidah dan
keyakinan yang beliau anut.
Sebagai bukti ketegasan
Habib Salim dlm membeberkan kesesatan Syiah kaum pencaci maki para
Shahabat Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, adalah cara beliau menukil
hadits serta pendapat para ulama. Ternyata Habib Salim memilih
hadits-hadits spesial yang secara terang-terangan berlawanan dengan
aqidah Syiah, antara lain yang tertera pada halaman 5 dan 6 buku Ar
Ra’ah Al Ghamidhah fi Naqdhi Kalaamir Raafidhah karangan beliau, yaitu
pada sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:
“Barang siapa mencaci maki sahabat-sahabatku,maka cambuklah dia!”
Habib
Salim mengomentari hadits ini dengan mengatakan, “Kaum Rafidhah atau
Syiah tidak pernah berhenti mencela Shahabat Rasulullah Shalallahu
‘Alaihi wa Sallam. Tidak hentinya mereka mencaci maki, bahkan selalu
mereka sebut (cacian itu) dalam berbagai pertemuan, di madrasah, bahkan
di kampus, baik secara terang-terangan atau sembunyi-sembunyi. Mereka
memang sebagian orang yang telah sesat dan dicelakakan oleh Allah
Subhanahu wa Ta’ala. Semoga Allah memerangi mereka.”
Habib Salim juga menukil pendapat Syaikh Ibnu Hajar dalam kitab Ash Shawaiq yang mengkatakan,
“Tidak boleh shalat di belakang kaum Rafidlah atau aktivis Syiah yang mengingkari kekhalifahan Abu Bakar Radhiyallahu ‘Anhu.”
Habib
Salim juga menukil tambahan lafadz hadits di atas dalam riwayat Imam
Ath Thabarani dalam Mu’jam-nya dari `Uwaimir Radhiyalallahu ‘Anh yang
mengatakan:
“Maka
barang siapa mencaci-maki mereka (para Shahabat), baginya kutukan Allah
Subhanahu wa Ta’ala, malaikat dan segenap insan. Allah Subhanahu wa
Ta’ala tidak akan menerima ibadah wajib dan sunnahnya.”
Kata
Habib Salim: “Meskipun kaum Rafidhah dan Syiah menganggap diri mereka
sebagai kaum Muslimin yang menunaikan shalat dan puasa, akan tetapi
Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan menerima semua ibadah mereka,
sebagaimana dinashkan dalam konteks lahiriah hadits di atas.
Tidaklah
bermanfaat shalat seseorang yang mencela salah satu seorang Shahabat
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam. Bahkan dia mendapatkan kutukan
Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah firman
yang artinya, ”Sesungguhnya orang-orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya, Allah akan melaknatnya di dunia dan akhirat.” (QS. 33/57)
Habib
Salim menandaskan, barang siapa menyakiti Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam dengan mencela Shahabat atau keluarganya,maka dia
adalah orang yang terkutuk berdasarkan ayat di atas. Para ulama
bersepakat akan terkutuknya pencaci maki para sahabat, sebagaimana
disebutkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Umar
Radhiyallahu ‘Anhu oleh Imam Tirmidzi dan Al Khatib bahwa Rasulullah
Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Jika
kalian melihat orang-orang yang mencaci maki sahabat-sahabatku, maka
katakanlah: Kutukan Allah Subhanahu wa Ta’ala atas kejahatan kalian.”
Dalam
merespon hadits ini, Habib Salim sangat tajam menyikapi kebiasaan kaum
Syiah yang mencaci maki para Shahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam, termasuk yang kini marak diusung oleh para alumni Qum Iran
beserta antek-antek mereka seraya beliau mengatakan, “Ini merupakan
prinsip yang tidak disangsikan lagi, karena sesungguhnya sejelek-jelek
umat ini adalah mereka yang mencaci maki para Shahabat Nabi
mereka.Mencaci maki dan mencela para Shahabat Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa
Sallam merupakan perilaku kaum Rafidhah dan Syiah.”
Orang
Ahli Sunnah menamakan mereka sebagai Yahudi-nya umat ini. Bahkan kaum
Yahudi lebih baik dari mereka, karena jika kita bertanya kepada seorang
tokoh Yahudi tentang Shahabat Nabi Musa Alaihis Salam, pasti akan
berkata, “Merekalah orang-orang pilihan kami dan orang-orang yang kami
kasihi!”
Begitupun jika kita bertanya kepada kaum
Nashrani tentang kaum Hawary Nabi Isa Alaihis Salam, pastilah akan
menjawab, ”Merekalah Rasulullah kami dan orang-orang pilihan kami.”
Namun,
jika kita bertanya kepada orang Rafidhah atau Syiah tentang Shahabat
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, niscaya akan menjawab,
”Sesungguhnya mereka itu sejelek-jelek kami dan orang-orang zhalim
kami.”
Berhubung dengan bid`ah ratapan pada hari ‘Asyura, Habib Salim menulis, antaranya:-
- Dan
di antara seburuk-buruk adat mereka daripada bid`ah adalah kelompok
Rawaafidh (Syiah) meratap dan menangis setiap tahun pada 10 Muharram
hari terbunuhnya Al Husain. Maka ini adalah satu maksiat dari dosa-dosa
besar yang mewajibkan adzab bagi pelakunya dan tidak sewajarnya bagi
orang yang berakal untuk meratap seperti anjing melolong dan
menggerak-gerakkan badannya.
- Rasulullah
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam telah melarang dari perbuatan
demikian (yakni meratap) dan Rasulullah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa
Sallam telah melaknat orang yang meratap. Dan di antara perkara awal
yang diminta oleh Rasulullah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam
daripada wanita-wanita yang berbai’at adalah supaya mereka meninggalkan
perbuatan meratap terhadap si mati, di mana Rasulullah Shalallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Dan janganlah kalian merobek pakaian,
mencabut-cabut rambut dan menyeru-nyeru dengan kecelakaan dan
kehancuran.”
- Imam Bukhari dan Muslim
meriwayatkan satu hadits dari Sayyidina Ibnu Mas`ud Radhiyallahu ‘Anhu
bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Bukanlah dari
kalangan kami orang yang memukul dada, mengoyak kain dan menyeru dengan
seruan jahiliyyah (yakni meratap seperti ratapan kaum jahiliyyah).” Maka
semua ini adalah perbuatan haram dan pelakunya keluar daripada umat
Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam sebagaimana dinyatakan dalam
hadits tadi.
- Telah berkata Asy Syarif An
Nashir li Ahlis Sunnah wal Jama`ah ‘Abdur Rahman bin Muhammad Al Masyhur
Al Hadhrami dalam fatwanya: “Perbuatan menyeru `Ya Husain’ sebagaimana
dilakukan di daerah India dan Jawa yang dilakukan pada hari ‘Asyura,
sebelum atau selepasnya, adalah bid`ah mazmumah yang sangat-sangat haram
dan pelaku-pelakunya dihukumkan fasik dan sesat yang menyerupai kaum
Rawaafidh (Syiah) yang dilaknat oleh Allah. Bahwasanya Rasulullah
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Sesiapa yang
menyerupai sesuatu kaum, maka dia daripada kalangan mereka dan akan
dihimpun bersama mereka pada hari kiamat.”
Habib Salim bin Ahmad bin Jindan menutup kitabnya dengan melantunkan doa: “Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala membinasakan kaum Rafidhah atau Syiah.”
Janganlah
tertipu dengan dakyah Syiah. Pelajarilah betul-betul pegangan Ahlus
Sunnah wal Jama`ah dan berpegang teguh dengannya. Katakan tidak kepada
selain Ahlus Sunnah wal Jama`ah, katakan tidak kepada Wahhabi, katakan
tidak kepada Syiah.
Ketika Menunaikan Ibadah Haji
Ulama dan Pejuang Kemerdekaan
Ulama
Jakarta ini menguasai beberapa ilmu agama. Banyak ulama dan habaib
berguru kepadanya. Koleksi kitabnya berjumlah ratusan. Ia juga pejuang
kemerdekaan.
Pada periode 1940-1960, di Jakarta ada
tiga habaib yang seiring sejalan dalam berdakwah. Mereka itu: Habib Ali
bin Abdurahman Alhabsyi (Kwitang), Ali bin Husein Alatas (Bungur) dan
Habib Salim bin Jindan (Otista),
mereka dikenal sebagai tiga serangkai
(triumvirat) dalam berdakwah, kalau Habib Ali bin Husin Alatas lebih
banyak diam dan Habib Ali Kwitang mengajak masyarakat saling mencintai;
Habib Salim Bin Djindan dengan suara yang menggebu-gebu kadang
mengkritik kebijakan pemerintah yang dianggapnya berlawanan dengan
ajaran Islam. Hampir semua habaib dan ulama di
Jakarta berguru kepada mereka, terutama kepada Habib Salim bin Jindan –
yang memiliki koleksi sekitar 15.000 kitab, termasuk kitab yang langka.
Sementara Habib Salim sendiri menulis sekitar 100 kitab, antara lain
tentang hadits dan tarikh, termasuk yang belum dicetak.
Lahir
di Surabaya pada 18 Rajab 1324 (7 September 1906) dan wafat di Jakarta
pada 16 Rabiulawal 1389 (1 Juni 1969), nama lengkapnya Habib Salim bin
Ahmad bin Husain bin Saleh bin Abdullah bin Umar bin Abdullah bin
Jindan. Seperti lazimnya para ulama, sejak kecil ia juga mendapat
pendidikan agama dari ayahandanya.
Menginjak usia remaja ia memperdalam agama kepada :
- Habib Abdullah bin Muhsin al-Aththas (Habib Empang, Bogor),
- Habib Alwy bin Muhammad al-Haddad (Empang, Bogor)
- Habib Muhammad bin Ahmad Al-Muhdhar (Bondowoso),
- Habib Muhammad bin Idrus Alhabsyi (Surabaya),
- Habib Abubakar bin Muhammad Assegaf (Gresik),
- K.H. Cholil bin Abdul Lathif (Kiai Cholil Bangkalan), dan
- Habib Alwi bin Abdullah Syahab di Tarim, Hadramaut.
- Selain
itu ia juga berguru kepada Habib Abdul Qadir bin Ahmad Bilfagih,
seorang ahli hadits dan fuqaha, yang sat itu juga memimpin Madrasah
Al-Khairiyah di Surabaya.
Bukan hanya itu, ia
juga rajin menghadiri beberapa majelis taklim yang digelar oleh para
ulama besar. Kalau dihitung, sudah ratusan ulama besar yang ia kunjungi. Dari
perjalanan taklimnya itu, akhirnya Habib Salim mampu menguasai berbagai
ilmu agama, terutama hadits, tarikh dan nasab. Ia juga hafal sejumlah
kitab hadits. Berkat penguasaannya terhadap ilmu hadits beliau mendapat
gelar sebagai muhaddist, dan karena menguasai ilmu sanad maka ia digelari sebagai musnid.
Mengenai guru-gurunya itu, Habib Salim pernah berkata, “Aku
telah berkumpul dan hadir di majelis mereka. Dan sesungguhnya majelis
mereka menyerupai majelis para sahabat Rasulullah SAW dimana terdapat
kekhusyukan, ketenangan dan kharisma mereka.”
Adapun
guru yang paling berkesan di hatinya ialah Habib Alwi bin Muhammad
Alhaddad dan Habib Abubakar bin Muhammad Assegaf. Tentang mereka, Habib
Salim pernah berkata, ”Cukuplah bagi kami mereka itu sebagai panutan dan
suri tauladan.”
Pada 1940 ia hijrah ke Jakarta. Di
sini selain membuka majelis taklim ia juga berdakwah ke berbagai daerah.
Di masa perjuangan menjelang kemerdekaan, Habib Salim ikut serta
membakar semangat para pejuang untuk berjihad melawan penjajah Belanda.
Itu sebabnya ia pernah ditangkap, baik di masa penjajahan Jepang maupun
ketika Belanda ingin kembali menjajah Indonesia seperti pada Aksi
Polisionil I pada 1947 dan 1948.
Dalam tahanan
penjajah, ia sering disiksa: dipukul, ditendang, disetrum. Namun, ia
tetap tabah, pantang menyerah. Niatnya bukan hanya demi amar makruf nahi
munkar, menentang kebatilan dan kemungkaran, tetapi juga demi
kemerdekaan tanah airnya. Sebab, hubbul wathan minal iman – cinta tanah air adalah sebagian dari pada iman.
Bersama Teman dan Sanak Keluarga
Kembali Berdakwah
Setelah
Indonesia benar-benar aman, Habib Salim sama sekali tidak mempedulikan
apakah perjuangannya demi kemerdekaan tanah air itu dihargai atau tidak.
Ia ikhlas berjuang, kemudian kembali membuka majelis taklim yang diberi
nama Qashar Al-Wafiddin. Ia juga kembalin berdakwah dan mengajar, baik
di Jakarta, di beberapa daerah maupun di luar negeri, seperti Singapura,
Malaysia, Kamboja.
Ketika berdakwah di daerah-daerah itulah ia
mengumpulkan data-data sejarah Islam. Dengan cermat dan tekun ia
kumpulkan sejarah perkembangan Islam di Ternate, Maluku, Ambon,
Sulawesi, Kalimantan, Nusa Tenggara, Timor Timur, Pulau Roti, Sumatera,
Pulau Jawa. Ia juga mendirikan sebuah perpustakaan bernama Al-Fakhriah.
Ibnu
Umar Junior dalam risalah Fenomena Kramat Jati menulis, ”Gara-gara
keberaniannya, Kolonel Sabur (salah satu ajudan Bung Karno) sampai
berang setengah mati kepada Habib Salim ketika dia melancarkan
kritik-kritik terhadap pemerintah di sebuah acara di Palembang tahun
1957 yang dihadiri Presiden Soekarno.”
“Kolonel Sabur
menyuruh Habib Salim turun dari mimbar. Di kesempatan itu, ia berkata
kepada para hadirin, ‘Suara rakyat adalah suara Tuhan. Apakah saya harus
terus ceramah atau tidak?’ Serempak para hadirin menjawab, ‘Teruuus!’.”
Suatu
ketika Habib Salim bin Jindan membawa Patung Bunda Maria dan diletakkan
di pekarangan rumahnya, Hal tersebut terasa aneh bagi sebagaian
masyarakat maupun para ‘Ulama waktu itu, Bahkan pernah juga salah
seorang ‘Ulama mendatangi rumah Habib Salim Jindan untuk menanyakan
kenapa Patung Bunda Maria diletakkan di Pekarangan Rumahnya dan merasa
bahwa Habib Salim telah murtad, namun dengan ketenangan Habib Salim
menyuruh ‘Ulama yang marah tersebut untuk mengaji dan memperdalam ‘ilmu
agama, baru nanti datang lagi kembali. Dengan Rasa penasaran dan
keheranan pergilah sang ‘Ulama tersebut dari Rumah Habib Salim Jindan.
Belakangan
Diketahui Bahwa Habib Salim Jindan memang sengaja menaruh patung Bunda
Maria di pekarangan rumahnya agar dapat terlihat oleh orang-orang
Nasrani yang pulang dari Gereja yang kebetulan berseberangan dengan
Rumah Habib Salim Jindan, Patung itu akan tetap disitu agar mereka sadar
bahwa apa yang mereka sembah selama ini hanyalah sebuah patung yang
tidak bisa berbuat banyak, Patung itu tidak bisa membela dan
menyelamatkan dirinya bagaimana mungkin bisa membela dan menyelamatkan
umat Nasrani. Patung itu kepanasan, kehujanan tanpa bisa berbuat apa-apa
kalau tidak dipindahkan oleh pemiliknya. Ini berarti Bunda Maria yang
selama ini mereka sembah hanya sebatas benda mati.
Dan
ternyata banyak dari mereka orang Nasrani yang sering melintas didepan
Rumah Habib Salim Jindan sadar bahwa mereka selama ini hanya menyembah
patung yang tidak bisa berbuat banyak yang akhirnya mereka memeluk Agama
Islam.
Ini adalah salah satu Methode Da’wah yang
dilakukan Habib Salim Jindan yang menurut sebagain orang tidak Lazim.
Namun ketokohan dan ke’ilmuan yang dalam tentang Agama Allah membuat
sebagian ‘Ulama dan masyarakat dapat memahami hal tersebut.
Di
masa itu Habib Salim juga dikenal sebagai ulama yang ahli dalam
menjawab berbagai persoalan – yang kadang-kadang menjebak. Misalnya,
suatu hari, ketika ia ditanya oleh seorang pendeta, ”Habib, yang lebih
mulia itu yang masih hidup atau yang sudah mati?” Maka jawab Habib
Salim, “Semua orang akan menjawab, yang hidup lebih mulia dari yang
mati. Sebab yang mati sudah jadi bangkai.”
Lalu kata
pendeta itu, “Kalau begitu Isa bin Maryam lebih mulia dari Muhammad bin
Abdullah. Sebab, Muhammad sudah meninggal, sementara Isa — menurut
keyakinan Habib — belum mati, masih hidup.”
“Kalau
begitu berarti ibu saya lebih mulia dari Maryam. Sebab, Maryam sudah
meninggal, sedang ibu saya masih hidup. Itu, dia ada di belakang,” jawab
Habib Salim enteng. Mendengar jawaban diplomatis itu, si pendeta
terbungkam seribu bahasa, lalu pamit pulang. Ketika itu banyak kaum
Nasrani yang akhirnya memeluk Islam setelah bertukar pikiran dengan
Habib Salim.
Habib Salim memang ahli berdebat dan
orator ulung. Pendiriannya pun teguh. Sejak lama, jauh-jauh hari, ia
sudah memperingatkan bahaya kerusakan moral akibat pornografi dan
kemaksiatan. “Para wanita mestinya jangan membuka aurat mereka, karena
hal ini merupakan penyakit yang disebut tabarruj, atau memamerkan aurat,
yang bisa menyebar ke seluruh rumah kaum muslimin,” kata Habib Salim
kala itu.'
Seperti
tahun 1960-an, ketika Partai Komunis Indonesia (PKI) melancarkan
serangan-serangan anti-Islam, Habib Salim bin Djindan senantiasa berada
di depan bersama ribuanmassauntuk menyerang kelompok kiri ini. Padahal,
ketika itu, PKI merupakan partai yang sangat kuat dan ditakuti. Ia
mengingatkan umat Islam akan bahaya besar bila komunis berkuasa di
Indonesia.
Habib Salim terkenal sebagai ulama yang tegas dan
keras, terutama dalam hal-hal kemaksiatan. Ia juga sering kali
mengingatkan umat akan kerusakan moral. Kepada kaum wanita, Habib
mengingatkan mereka agar memerhatikan cara berpakaian dan menutup aurat.
”Jagalah
wanita-wanita kalian. Peringatkan anak-anak dan istrimu agar menjaga
aurat mereka. Karena penyakit tabarruj (memamerkan aurat) bisa menyebar
ke rumah-rumah kalian,” kata Habib Salim.
Dalam buku 12 Habaib
Berpengaruh, Habib Salim berkata kepada keluarganya, ”Aku mengharapkan
datangnya kematian. Karena aku menginginkan perjumpaan dengan
orang-orang yang aku cintai. Mereka adalah para ulama dan salihin dan
aku mengharapkan berkumpul bersama ajdad (para leluhurku) dan bersama
datukku, Muhammad Rasulullah.”
Saat
masih hidup, pernah seseorang ingin menuliskan autobiografinya guna
dipublikasikan. Namun, dengan tegas, Habib Salim menolaknya.
”Apa yang kalian lakukan? Menulis autobiografi saya, nantinya akan membuat anak cucu saya fakhr (berbangga diri-Red),” ujarnya.
Kemudian,
Habib Salim meminta baik-baik naskah autobiografi itu dan
merobek-robeknya, tanpa peduli si penulis yang menyatakan bahwa orang
seperti dia perlu menerbitkan autobiografi agar diketahui masyarakat
banyak.
Ulama besar ini wafat di Jakarta pada 16
Rabiulawal 1389 (1 Juni 1969). Ketika itu ratusan ribu kaum muslimin
dari berbagai pelosok datang bertakziah ke rumahnya di Jalan Otto
Iskandar Dinata, Jakarta Timur. Iring-iringan para pelayat begitu
panjang sampai ke Condet. Jasadnya dimakamkan di kompleks Masjid Alhawi,
Condet, Jakarta Timur.
Almarhum meninggalkan dua putera, Habib Shalahudin dan Habib Novel
yang juga sudah menyusul ayahandanya. Namun, dakwah mereka tetap
diteruskan oleh anak keturunan mereka. Mereka, misalnya, membuka majelis
taklim dan menggelar maulid (termasuk haul Habib Salim) di rumah
peninggalan Habib Salim di Jalan Otto Iskandar Dinata.
Belakangan,
nama perpustakaan Habib Salim, yaitu Al-Fachriyyah, diresmikan sebagai
nama pondok pesantren yang didirikan oleh Habib Novel bin Salim di
Ciledug, Tangerang. Kini pesantren tersebut diasuh oleh Habib Jindan bin
Novel bin Salim dan Habib Ahmad bin Novel bin Salim – dua putra
almarhum Habib Novel. “Sekarang ini sulit mendapatkan seorang ulama
seperti jid (kakek) kami. Meski begitu, kami tetap mewarisi semangatnya
dalam berdakwah di daerah-daerah yang sulit dijangkau,” kata Habib
Ahmad, cucu Habib Salim bin Jindan.
Ada sebuah
nasihat almarhum Habib Salim bin Jindan yang sampai sekarang tetap
diingat oleh keturunan dan para jemaahnya, ialah pentingnya menjaga
akhlak keluarga.
”Kewajiban
kaum muslimin, khususnya orangtua untuk menasihati keluarga mereka,
menjaga dan mendidik mereka, menjauhkan mereka dari orang-orang yang
bisa merusak akhlak. Sebab, orangtua adalah wasilah (perantara) dalam
menuntun anak-anak. Nasihat seorang ayah dan ibu lebih berpengaruh pada
anak-anak dibanding nasehat orang lain.”
Disarikan dari Manakib Habib Salim bin Jindan karya Habib Ahmad bin Novel bin Salim
(kisah yang diceritakan oleh tetangga al-Habib Salim bin Jindan)
Rumah kediaman Habib berseberangan dengan gereja Antonius, bersebelahan
dengan Gelanggang Remaja Jakarta Timur (GOR-Jaktim)
Waktu itu Habib memiliki sebuah patung Bunda Maria, yang besar ; sebesar
orang dewasa sedang berdiri.
Semua murid2 beliau tak ada yg berani bertanya kepada beliau, mengapa seorang
Habib memiliki koleksi patung Bunda Maria, apalagi diletakkannya di halaman
depan rumahnya yang bersebrangan dengan Gereja Khatolik.
Almarhum Ayahandaku kebetulan salah seorang murid beliau, dan termasuk
khadamnya juga (orang-orang yg mengabdi kpd beliau), pernah mendengar bahwa
keberadaan patung Bunda Maria di pekarangan depan, kata Habib memang disengaja di letakkan di pekarangan depan rumahnya, maksudnya agar dapat terlihat oleh orang2 khatolik yang pulang dari gereja di depan rumahnya. Patung itu akan tetap ada disitu, agar mereka sadar bahwa apa yg selama ini mereka sembah hanyalah sebuah patung, yang tidak bisa berbuat apa-apa, dia tidak bisa membela dan menyelamatkan dirinya, bagaimana mungkin dapat menyelamatkan umat khatolik.
Liat saja patung itu, dia kepanasan dan kehujanan tanpa bisa berbuat apa-apa
kalau pemiliknya tidak memindahkannya dari situ. Ini berarti bunda maria yang selama ini mereka sembah, hanya sebatas benda mati.Ternyata dengan cara diplomatis Habib Salim bin Jindan tersebut terbukti
banyak ummat katholik yang sepulang dari gereja di depan rumahnya, merasa sadar
bahwa yang selama ini mereka sembah hanyalah sebuah patung, dan akhirnya mereka banyak yang memeluk Agama Islam.Sekitar tahun 70-an sewaktu ada pelebaran jalan di otista raya, pekarangan
rumah beliau terkena gusur pelebaran jalan yang mengharuskan patung itu
dibongkar dan dipindahkan. Tapi anehnya karena karomah Habib Salim bin Jindan, sudah banyak pekerja2 yang mengerjakan pelebaran jalan berusaha merobohkan patung tersebut, ternyata tak dapat dirobohkan juga, baru saja mau dibongkar menggunakan linggis/pahat dsb, pekerjanya langsung sakit seperti demam dan menggigil. Patung itu tetap kokoh berdiri tanpa ada yang mempu merobohkannya, termasuk
dengan menggunakan semacam boldoser. Sampai pelebaran jalan usai, Patung itu
tetap berdiri kokoh di tengah2 jalan. Akhirnya entah dengan cara bagaimana setelah sekian lama tidak bisa dibongkar, patung itu baru dapat di bongkar konon setelah mendapat restu dan izin dari
para ahli waris Habib Salim bin Jindan
Fatwa Lengkap Hadrotusy Syeikh Hasyim Asy’ari dan al-Habib Salim bin Jindan Tentang Syiah
Fatwa Pendiri Nahdhatul Ulama Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari (1292-1366 H, 1875-1947 M) Tentang Syi’ah
(Fatwa Syaikh Hasyim Asy’ari dan Habib Salim bin Ahmad bin Jindan tentang Syi’ah Imamiyah)
المقالة
الأولى:
فصل في بيان تمسك أهل جاوى بمذهب أهل السنة والجماعة، وبيان ابتداء ظهور
البدع وانتشارها في أرض جاوى، وبيان أنواع المبتدعين في هذا الزمان. قد كان
مسلموا الأقطار الجاوية في الأزمان السالفة الخالية متفقي الآراء والمذهب
ومتحدي المأخذ والمشرب، فكلهم في الفقه على المذهب النفيس مذهب الإمام محمد
بن إدريس، وفي أصول الدين على مذهب الإمام أبي الحسن الأشعري، وفي التصوف
على مذهب الإمام الغزالي والإمام أبي الحسن الشاذلي رضي الله عنهم أجمعين.
ثم إنه حدث في عام الف وثلاثمائة وثلاثين أحزاب متنوعة وآراء متدافعة
وأقوال متضاربة، ورجال متجاذبة، فمنهم سلفيون قائمون على ما عليه أسلافهم
من التمذهب بالمذهب المعين والتمسك بالكتب المعتبرة المتداولة، ومحبة أهل
البيت والأولياء والصالحين، والتبرك بهم أحياء وأمواتا، وزيارة القبور
وتلقين الميت والصدقة عنه واعتقاد الشفاعة ونفع الدعاء والتوسل وغير
ذلك…ومنهم رافضيون يسبون سيدنا أبا بكر وعمر رضي الله عنهما ويكرهون
الصحابة رضي الله عنهم، ويبالغون هوى سيدنا علي وأهل بيته رضوان الله عليهم
أجميعن، قال السيد محمد في شرح القاموس: وبعضهم يرتقي إلى الكفر والزندقة
أعاذنا الله والمسلمين منها. قال القاضي عياض في الشفا: عن عبد الله بن
مغفل قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم (الله الله في أصحابي لا
تتخذوهم غرضا بعدى فمن أحبهم فبحبي أحبهم ومن أبغضهم فببغضي أبغضهم ومن
آذاهم فقد آذانى ومن آذانى فقد آذى الله ومن آذى الله يوشك أن يأخذه) وقال
رسول الله صلى الله عليه وسلم (لا تسبوا أصحابي فمن سبهم فعليه لعنة الله
والملائكة والناس أجمعين لا يقبل الله منه صرفا ولا عدلا) وقال صلى الله
عليه وسلم (لا تسبوا أصحابي فإنه يجئ قوم في آخر الزمان يسبون أصحابي فلا
تصلوا عليهم ولا تصلوا معهم ولا تناكحوهم ولا تجالسوهم وإن مرضوا فلا
تعودوهم) وعنه صلى الله عليه وسلم (من سب أصحابي فاضربوه) وقد أعلم النبي
صلى الله عليه وسلم أن سبهم وآذاهم يؤذيه وأذى النبي صلى الله عليه وسلم
حرام فقال (لا تؤذوني في أصحابي ومن آذاهم فقد آذانى) وقال (لا تؤذوني في
عائشة) وقال في فاطمة (بضعة منى يؤذيني ما آذاها). اهـ (الشيخ محمد هاشم
أشعري، رسالة أهل السنة والجماعة، ص 9-10).
Maqolah 1
Pasal
untuk menjelaskan penduduk Jawi berpegang kepada madzhab Ahlusunnah wal
Jama’ah, dan awal kemunculan bid’ah dan meluasnya di Jawa, serta
macam-macam ahli bid’ah di zaman ini. Umat Islam yang mendiami wilayah
Jawa sejak zaman dahulu telah bersepakat dan menyatu dalam pandangan
keagamaannya.
Di bidang fikih, mereka berpegang kepada mazhab Imam
Syafi’i, di bidang ushuluddin berpegang kepada mazhab Abu Al-Hasan
Al-Asy’ari, dan di bidang tasawuf berpegang kepada mazhab Abu Hamid
Al-Ghazali dan Abu Al-Hasan Al-Syadzili, semoga Allah meridhoi mereka
semua. Kemudian pada tahun 1330 H muncul kelompok, pandangan, ucapan dan
tokoh-tokoh yang saling berseberangan dan beraneka ragam.
Di
antara mereka adalah kaum Salaf yang memegang teguh tradisi para tokoh
pendahulu mereka dengan bermazhab dengan satu mazhab dan kitab-kitab
mu’tabar, kecintaan terhadap Ahlul Bait Nabi, para wali dan orang-orang
salih, selain itu juga tabarruk dengan mereka baik ketika masih hidup
atau setelah wafat, ziarah kubur, mentalqin mayit, bersedekah untuk
mayit, meyakini syafaat, manfaat doa dan tawassul serta lain sebagainya.
Di antara mereka juga ada golongan rofidhoh yang suka mencaci Sayidina Abu Bakr dan ‘Umar radhiallahu anhum,
membenci para sahabat nabi dan berlebihan dalam mencintai Sayidina ‘Ali
dan anggota keluarganya, semoga Allah meridhoi mereka semua.
Berkata
Sayyid Muhammad dalam Syarah Qamus, sebagian mereka bahkan sampai pada
tingkatan kafir dan zindiq, semoga Allah melindungi kita dan umat Islam
dari aliran ini.
Berkata Al-Qadhi ‘Iyadh dalam kitab As-Syifa bi Ta’rif Huquq Al-Musthafa, dari Abdillah ibn Mughafal, Rasulullah sallallahu alayhi wasallam bersabda:
“Takutlah
kepada Allah, takutlah kepada Allah mengenai sahabat-sahabatku.
Janganlah kamu menjadikan mereka sebagai sasaran caci-maki sesudah aku
tiada. Barangsiapa mencintai mereka, maka semata-mata karena
mencintaiku. Dan barang siapa membenci mereka, maka berarti semata-mata
karena membenciku. Dan barangsiapa menyakiti mereka berarti dia telah
menyakiti aku, dan barangsiapa menyakiti aku berarti dia telah menyakiti
Allah. Dan barangsiapa telah menyakiti Allah dikhawatirkan Allah akan
menghukumnya.” (HR. al-Tirmidzi dalam Sunan al-Tirmidzi Juz V/hal. 696
hadits No. 3762)
Rasulullah sallallahu alayhi wasallam bersabda:
“Janganlah
kamu mencela para sahabatku, Maka siapa yang mencela mereka, atasnya
laknat dari Allah, para malaikat dan seluruh manusia. Allah Ta’ala tidak
akan menerima amal darinya pada hari kiamat, baik yang wajib maupun
yang sunnah.” (HR. Abu Nu’aim, Al-Thabrani dan Al-Hakim)
Rasulullah sallallahu alayhi wasallam bersabda:
“Janganlah
kamu mencaci para sahabatku, sebab di akhir zaman nanti akan datang
suatu kaum yang mencela para sahabatku, maka jangan kamu menyolati atas
mereka dan shalat bersama mereka, jangan kamu menikahkan mereka dan
jangan duduk-duduk bersama mereka, jika sakit jangan kamu jenguk
mereka.” Nabi sallallahu alayhi wasallam telah kabarkan bahwa mencela dan menyakiti mereka adalah juga menyakiti Nabi, sedangkan menyakiti Nabi haram hukumnya.
Rasul sallallahu alayhi wasallam bersabda:
“Jangan
kamu sakiti aku dalam perkara sahabatku, dan siapa yang menyakiti
mereka berarti menyakiti aku.” Beliau bersabda, “Jangan kamu menyakiti
aku dengan cara menyakiti Fatimah. Sebab Fatimah adalah darah dagingku,
apa saja yang menyakitinya berarti telah menyakiti aku.” (Risalat Ahli
Sunnah wal Jama’ah, h.9-10)
المقالة الثانية: وليس مذهب
في هذه الأزمنة المتأخرة بهذه الصفة إلا المذاهب الأربعة، اللهم إلا مذهب
الإمامية والزيدية وهم أهل البدعة لا يجوز الاعتماد على أقاويلهم. اهـ
(الشيخ محمد هاشم أشعري، رسالة في تأكد الأخذ بمذاهب الأئمة الأربعة، ص
29).
Maqolah 2
Bukanlah yang disebut mazhab
pada masa-masa sekarang ini dengan sifat yang demikian itu kecuali
Mazahib Arba’ah (Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’I dan Imam
Ahmad).
Selain dari pada itu, seperti mazhab Syiah Imamiyah dan
Syiah Zaidiyah, mereka adalah ahul bid’ah yang tidak boleh berpegang
kepada pandangan-pandangan mereka. ( Risalah fi Ta’akkud Al-Akhdzi bi Al-Madzahib Al-Arba’ah, h.29)
المقالة
الثالثة: أما أهل السنة فهم أهل التفسير والحديث والفقه، فإنهم المهتدون
المتمسكون بسنة النبي صلى الله عليه وسلم والخلفاء بعده الراشدين، وهم
الطائفة الناجية، قالوا وقد اجتمعت اليوم في مذاهب أربعة الحنفيون
والشافعيون والمالكيون والحنبليون، ومن كان خارجا عن هذه الأربعة في هذا
الزمان فهو من المبتدعة. اهـ اهـ (الشيخ محمد هاشم أشعري، زيادة تعليقات، ص
24-25).
Maqolah 3
Adapun Ahlusunnah mereka
adalah para Ahli Tafsir, Hadits dan Fiqih. Sungguh merekalah yang
mendapat petunjuk dan berpegang teguh dengan sunnah Nabi Muhammad sallallahu alayhi wasallam dan para khalifah yang rasyid setelah beliau.
Mereka adalah ‘kelompok yang selamat’ (thaifah najiyah).
Para
ulama berkata, pada saat ini kelompok yang selamat itu terhimpun dalam
mazhab yang empat; Hanafi, Maliki, Syafi’I dan Hanbali. Maka siapa saja
yang keluar atau di luar empat mazhab itu adalah ahlul bid’ah di masa
ini. (Ziyadat Ta’liqat, h. 24-25)
المقالة الرابعة
وَاصْدَعْ بِمَاتُؤْمَرُ لِتَنْقَمِعَ الْبِدَعُ عَنْ اَهْلِ
اْلمَدَرِوَالْحَجَرِ. قال رسول الله صلى الله عليه وسلم “اِذَاظَهَرَتِ
الْفِتَنُ اَوِالْبِدَعُ وسُبَّ اَصْحَابِيْ فَلْيُظْهِرِالْعَالِمُ
عِلْمَهُ فَمَنْ لَمْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللهِ
وَالْمَلاَئِكَةِ وَالنَّاسِ اَجْمَعِيْنَ
Sampaikan secara terang-terangan apa yang diperintahkan Allah kepadamu, agar bid’ah-bid’ah terberantas dari semua orang.
Rasulullah sallallahu alayhi wasallam bersabda:
“Apabila fitnah-fitnah dan bid’ah-bid’ah muncul dan sahabat-sahabatku
di caci maki, maka hendaklah orang-orang alim menampilkan ilmunya.
Barang siapa tidak berbuat begitu, maka dia akan terkena laknat Allah,
laknat Malaikat dan semua orang.” (Muqadimah Qanun Asasi Nahdlatul
ulama)
Fatwa Al-Habib Al-Musnid Syekh Salim bin Ahmad bin Jindan (1324-1389 H, 1906-1969 M) Tentang Syi’ah dan Rofidhoh
المقالة
الأولى: من هم الرافضة؟ هم الذين ينتحلون حب أهل البيب وليسوا كذلك
ويزعمون أنهم أتباع أكابر أهل البيت مثل الحسنين وأبيهما وعلي بن الحسين
وزيد بن علي رضي الله عنهم وهم يتبرأون من أبي بكر وعمر وعثمان ومعاوية
وعمرو بن العاص وأنصارهم رضوان الله عليهم أجمعين فيسبونهم. (الراعة
الغامضة في نقض كلام الرافضة, ص 1)
Siapakah golongan Rofidhoh itu?
Mereka adalah kaum yang suka mengklaim palsu kecintaan terhadap ahlul
bait, padahal mereka tidaklah demikian. Mereka mengaku sebagai pengikut
para tokoh utama ahlul bait seperti Al-Hasan dan Al-Husain dan ayah
mereka berdua (Sy. ‘Ali bin Abi Thalib), juga ‘Ali bin Al-Husain (Zainal
Abidin), dan Zaid bin ‘Ali—semoga Allah meridhoi mereka, namun mereka
berlepas diri dari Sy. Abu Bakr, Sy. ‘Umar, Sy. ‘Utsman, Sy. Mu’awiyah,
Sy. ‘Amr bin ‘Ash dan para penolong mereka, dan mencaci mereka semuanya.
( Kitab Ar-Ra’at Al-Ghamidhoh fi Naqdh Kalam Al-Rafidhoh, hlm. 1)
المقالة
الثانية: واتفق بجواز لعن شاتمهم في حديث ابن عمر ما رواه الترمذي والخطيب
قوله عليه السلام: إذا رأيتم الذين يسبون أصحابي فقولوا لعنة الله على
شركم فهذا لا ريب في ذلك لأن شرار هذه الأمة الذين يسبون أصحاب نبيهم,
والسب والذم على أصحاب محمد صلى الله عليه وسلم من سنة الرافضة والشيعة.
فهؤلاء يسميهم أهل السنة يهود هذه الأمة, بل كانت اليهود خيرا منهم لو
سألنا رجلا يهوديا عن أصحاب موسى ليقول هؤلاء خيارنا وأحباءنا ولو سألنا
النصراني أيضا عن حواري عيسى ليقول هؤلاء هم سادتنا وخيارنا ولو سألنا
الروافض والشيعة عن أصحاب محمد ليقولون إنهم أشرارنا وظالمونا قاتلهم الله
أنى يؤفكون! والحاصل أن الرافضة وأذنابهم ثبت في الكتاب والسنة أنهم من أهل
النار مع إثبات الكفر عليهم والخروج من الدين الإسلامي وإن كانوا يزعمون
أنفسهم مسلمين, أوليست اليهود والنصارى أنهم مسلمون من أهل الجنة؟؟؟ ولذلك
قال الله تعالى ليس بأمانيكم ولا أماني أهل الكتاب من يعمل سوءا يجز به
(النساء: 122) وإن كان مسلما يزعم أنه من أمة محمد صلى الله عليه وسلم فهو
من أهل الفرق الضالة خارج عن السنة والجماعة وكان من أهل النار (الراعة
الغامضة في نقض كلام الرافضة, ص 7-8)
Disepakati akan bolehnya melaknat orang yang mencerca para sahabat.
Di riwayatkan oleh Ibnu ‘Umar radhiallahu anhu, sabda Nabi sallallahu alayhi wasallam,
“Jika kamu melihat orang-orang yang mencela para sahabatku maka
ucapkanlah laknat Allah atas kejahatan kalian!” (HR. Tirmidzi dan
Al-Khatib).
Hal ini tak diragukan lagi sebab orang-orang yang
mencaci para sahabat nabi adalah seburuk-buruk umat ini. Cacian dan
cercaan kepada para sahabat nabi sallallahu alayhi wasallam adalah tradisi kaum rofidhoh dan syiah secara umum.
Mereka itulah yang dinamakan ‘Yahudi Islam’, yaitu kaum yahudi-nya umat ini.
Bahkan
umat Yahudi lebih baik daripada mereka, sebab jika kita tanyakan
tentang sahabat nabi Musa, mereka jawab, mereka adalah para kekasih
orang-orang pilihan kami. Jika kita tanyakan orang nasrani tentang para
hawari nabi Isa, mereka jawab, bahwa hawari Isa adalah para pemimpin dan
orang terbaik kami. Namun jika kita tanyakan tentang para sahabat nabi
Muhammad sallallahu alayhi wasallam kepada kaum rofidhoh dan syiah, mereka jawab, bahwa para sahabat adalah orang-orang yang jahat dan zalim!
Semoga Allah perangi mereka karena ucapan keji itu.
Kesimpulannya,
kaum rafidhoh dan para pengekornya (syiah) telah ditetapkan dalam
Qur’an dan Sunnah adalah ahli neraka dengan penetapan kekufuran atas
mereka dan telah keluar dari agama Islam, betapa pun mereka tetap
mengaku muslim.
Sebab, bukankah Yahudi dan Nasrani juga tetap mengaku muslim (pasrah) kepada Allah, dan mengklaim diri mereka ahli syurga?!
Oleh
karena itulah, Allah berfirman: bukan karena angan-angan kalian dan
juga angan-angan ahli kitab, siapa saja yang mengerjakan keburukan maka
ia akan dibalas setimpal (QS. An-Nisa: 122). Dan jika dia tetap kukuh
mengaku muslim dari umat Muhammad sallallahu alayhi wasallam, maka ia tergolong pengikut sekte sesat dan telah keluar dari garis sunnah dan jama’ah, dan termasuk ahli neraka. (hlm.7-8)
المقالة
الثالثة: فيجب على كل مسلم مخلص الإيمان عالم بلذة إسلامه وطعم إيمانه أن
يؤدي شكره لأبي بكر الصديق فضلا عن رسول الله صلى الله عليه وسلم ولكن
وجدنا أشرار هذه الأمة ويهودها يعني الروافض سبوه وطعنوه ورموه بالظلم و
حاشا أن يكون للطيب صاحب سوء –يعني بالطيب النبي صلى الله عليه وسلم- ولكن
الروافض هم الكافرون, وحكمنا بالكفر على من سب أحدا من أصحاب محمد صلى الله
عليه وسلم مثل الخلفاء الراشدين لا يحبهم إلا مؤمن ولا يبغضهم إلا منافق
معاند كافر ملعون من السبع الأرضين والسموات ألا إن لعنة الله على الكافرين
(الراعة الغامضة في نقض كلام الرافضة, ص 11)
Maka wajib atas setiap
muslim yang ikhlas dalam imannya, dan merasakan kelezatan islam dan
rasa imannya, untuk menunaikan rasa terimakasih kepada Abu Bakr
As-Shiddiq, terlebih lagi kepada Rasulullah sallallahu alayhi wasallam.
Akan
tetapi kita telah dapati seburuk-buruk umat ini dan yahudinya, yaitu
kaum rafidhoh, telah mencaci dan mendiskreditkan beliau (Abu Bakr radhiallahu anhu) dan menuduhnya berbuat zalim.
Sungguh
mustahil orang yang baik (yaitu Nabi Muhammad) memiliki teman yang
jahat, namun kaum rofidhoh itulah orang kafir, dan kami telah memvonis
kekufuran atas siapa saja yang mencaci salah seorang sahabat Nabi
Muhammad sallallahu alayhi wasallam, seperti Khulafa’ Rasyidin.
Hanya
orang mukminlah yang mencintai mereka, dan hanya orang munafik, keras
kepala, dan kafir lah yang membenci mereka. Orang itu dikutuk dari tujuh
lapis bumi dan tujuh lapis langit, ingatlah bahwa laknat Allah atas
orang-orang kafir! (hlm. 11).
|
Komentar
Posting Komentar