al-Habib Hasyim bin Umar bin Yahya


Dikisahkan saking kompaknya, ketika Habib Hasyim hendak melakukan satu kegiatan atau satu rencana Habib Hasyim selalu meminta ijin dan saran dari Habib Ahmad bin Thalib Alathas. Pun demikian sebaliknya dengan Habib Ahmad bin Thalib. Jika belum meminta restu dari Habib Hasyim, Habib Ahmad tidak akan berani melangkah.
Kalau Habib Hasyim sudah datang ke tempat Maulid, sementara Habib Ahmad bin Thalib belum datang Habib Hasyim menangguhkan acara, sampai datangnya Habib Ahmad bin Thalib.
Begitu juga dengan Habib Ahmad bin Thalib, jika beliau datang pertama, sementara Habib Hasyim belum datang, beliau urung memulai.
Kekompakan keduanya terlihat ketika seorang Habib asal Hadhramiy hendak pamitan pada keduanya. Dikisahkan, Pada permulaan Abad dua puluh Habib Muhammad Ali Muhsin datang dari Hadhramaut ke Indonesia, tepatnya kota Pekalongan. Setelah tinggal di Indonesia sang Habib merasa tidak kerasan. Ketika hendak pamitan, beliau merasa kebingungan. Mana yang pertama didatangi, Habib Ahmad Bin Thalib Al Athas ataukah Habib Hasyim bin Umar bin Yahya.
‘Habib Ahmad atau Habib Hasyim’, terus saja sambil jalan berfikir demikian.
Ketika beliau datang kerumah Habib Ahmad. Habib Muhsin belum sempat bicara, Habib Ahmad berseloroh; ‘Ya Muhsin ila Habib Hasyim bn Umar Awalan, hai Muhsin pamitan ke Habib Hasyim dahulu’.
Langsung saja beliau datang ke Habib Hasyim. Ketika berpamitan ke Habib Hasyim, Habib Hasyim mengatakan; ‘kuburanmu disini, dan disini kotamu, nanti kamu yang menggantikan kami semua’.
Habib Muhsin datang ke Habib Ahmad, Habib Ahmad berkata; ‘apa yang dikatakan Habib Hasyim adalah perkataanku.'
Kemudian hari terbukti, ketika Habib Ahmad wafat Habib Muhsin yang menggantikan Habib Ahmad mengajar di Salafiyah bersama Habib Muhammad Abdurrahman. Ketika Habib Hasyim Wafat yang menggantikan menjadi imam Masjid An Nur adalah Habib Muhsin.
PAHAMILAH SEJARAH NAHDLATUL ULAMA (NU)
Edisi Spesial Memperingati Harlah NU yang ke-87
Ulama-ulama Indonesia di Haromain: Embrio NU di Indonesia
Banyak di antara kita yang kepaten obor, kehilangan sejarah, terutama generasi-generasi muda. Hal itupun tidak bisa disalahkan, sebab orang tua-orang tua kita, -sebagian jarang memberi tahu apa dan bagaimana sebenarnya Nahdlitul Ulama itu.
Karena pengertian-pengertian mulai dari sejarah bagaimana berdirinya NU, bagaimana perjuangan-perjuangan yang telah dilakukan NU, bagaimana asal-usul atau awal mulanya KH. Hasyim Asy’ari mendirikan NU dan mengapa Ahlussunah wal Jama’ah harus diberi wadah di Indonesia ini.
Dibentuknya NU sebagai wadah Ahlussunah wal Jama’ah bukan semata-mata KH. Hasyim Asy’ari ingin berinovasi, tapi memang kondisi pada waktu itu sudah sampai pada kondisi dhoruri, wajib mendirikan sebuah wadah. Kesimpulan bahwa membentuk sebuah wadah Ahlussunah wal Jama’ah di Indonesia menjadi satu keharusan, merupakan buah dari pengalaman ulama-ulama Ahlussunah wal Jama’ah, terutama pada rentang waktu pada tahun 1200 H sampai 1350 H.
Pada kurun itu ulama Indonesia sangat mewarnai dan perannya dalam menyemarakkan kegiatan ilmiyah di Masjidil Haram tidak kecil. Misal diantaranya ada seorang ulama yang sangat terkenal, tidak satupun muridnya yang tidak menjadi ulama terkenal, ulama-ulama yang sangat tabahur fi ‘ilmi Syari’ah fi thoriqoh wa fi ‘ilmi tasawuf, ilmunya sangat melaut luas dalam syari’ah, thoriqoh dan ilmu tasawuf. Diantaranya dari Sambas, Ahmad bin Abdus Shamad Sambas. Murid-murid beliau banyak yang menjadi ulama-ulama besar seperti Kiyai Tholhah Gunungjati Cirebon.
Kiyai Tholhah ini adalah kakek dari Kiyai Syarif Wonopringgo, Pekalongan. Muridnya yang lain, Kiyai Syarifudin bin Kiyai Zaenal Abidin bin Kiyai Muhammad Tholhah. Beliau diberi umur panjang, usianya seratus tahun lebih. Adik seperguruan beliau diantaranya Kiyai Ahmad Kholil Bangkalan. Kiyai Kholil lahir pada tahun 1227 H. Dan diantaranya murid-murid Syekh Ahmad Sambas yaitu Syekh Abdul Qodir al-Bantani, yang menurunkan anak murid, yaitu Syekh Abdul Aziz Cibeber dan Kiyai Asnawi Banten.
Ulama lain yang sangat terkenal sebagai ulama ternama di Masjidil Harom adalah Kiyai Nawawi al-Bantani. Beliau lahir pada tahun 1230 H dan meninggal pada tahun 1310 H bertepatan dengan meninggalnya mufti besar Sayyid Ahmad Zaini Dahlan. Ulama Indonesia yang lainnya yang berkiprah di Masjidil Harom adalah Sayyid Ahmad an-Nahrowi al-Banyumasi. Beliau diberi umur panjang, beliau meninggal pada usia 125.
Tidak satupun pengarang kitab di Haromain; Mekah-Madinah, terutama ulama-ulama yang berasal dari Indonesia yang berani mencetak kitabnya sebelum ada pengesahan dari Sayyid Ahmad an-Nahrowi al-Banyumasi.
Syekh Abdul Qadir al-Bantani murid lain Syekh Ahmad bin Abdus Shamad Sambas, yang mempunyai murid Kiyai Abdul Lathif Cibeber dan Kiyai Asnawi Banten. Adapun ulama-alama yang lain yang ilmunya luar biasa adalah Sayyidi Syekh Ubaidillah Surabaya. Beliau melahirkan ulama yang luar biasa yaitu Kiyai Abu Ubaidah Giren Talang Tegal (Ponpes Attauhidiyyah), terkenal sebagai Imam Asy’ari-nya Indonesia. Dan melahirkan seorang ulama auliya besar, Sayyidi Syekh Muhammad Ilyas Sukaraja. Guru dari guru saya Sayyidi Syekh Muhammad Abdul Malik.
Yang mengajak Syekh Muhammad Ilyas muqim di Haromain yang mengajak adalah Kiyai Abu Ubaidah tersebut, di Jabal Abil Gubai, di Syekh Sulaiman Zuhdi. Diantara murid-muridnya lagi di Mekah adalah Sayyidi Syekh Abdullah Tegal. Lalu Sayyidi Syekh Abdullah Wahab Rohan Medan, Sayyidi Syekh Abdullah Batangpau, Sayyidi Syekh Muhammad Ilyas Sukaraja, Sayyidi Syekh Abdul Aziz bin Abdush Shamad al-Bimawi, dan Sayyidi Syekh Abdullah dan Sayyidi Syekh Abdul Manan, tokoh pendiri Termas sebelum Kiyai Mahfudz dan sebelum Kiyai Dimyati.
Di jaman Sayyidi Syekh Ahmad Khatib Sambas ataupun Sayyidi Syekh Sulaiman Zuhdi, murid yang terakhir adalah Sayyidi Syekh Ahmad Abdul Hadi Giri Kusumo daerah Mranggen.
Inilah ulama-ulama indonesia di antara tahun 1200 H sampai tahun 1350. Termasuk Syekh Baqir Zaenal Abidin Jogja, Kiyai Idris Jamsaren, dan banyak tokoh-tokoh pada waktu itu yang di Haromain.
Seharusnya kita bangga dari warga keturunan banagsa kita cukup mewarnai di Haromain, beliau-beliau memegang peranan yang luar biasa. Salah satunya guru saya sendiri Sayyidi Syekh Abdul Malik yang pernah tinggal di Haromain dan mengajar di Masjidil Haram khusus ilmu tafsir dan hadits selama 35 tahun. Beliau adalah muridnya Syekh Mahfudz at-Turmudzi.
Mengapa saya ceritakan yang demikian, kita harus mengenal ulama-ulama kita dahulu yang menjadi mata rantai berdirinya NU. Kalau dalam hadits itu betul-betul tahu sanadnya, bukan hanya katanya-katanya saja. Jadi kita harus tahu dari mana saja ajaran Ahlussunah wal Jama’ah yang diambil oleh Syekh KH. Hasyim Asy’ari.
Bukan sembarang orang tapi yang benar-benar orang-orang tabahur ilmunya, dan mempunyai maqomah, kedudukan yang luar biasa. Namun sayang peran penting ulama-ulama Ahlussunah wal Jama’ah di Haromain pada masa itu (pada saat Syarif Husein berkuasa di Hijaz), khususunya ulama yang dari Indonesia tidak mempunyai wadah. Kemudian hal itu di pikirkan oleh KH. Hasyim Asy’ari disamping mempunyai latar belakang dan alasan lain yang sangat kuat sekali.
Menjelang berdirinya NU beberapa ulama besar kumpul di Masjidil Harom, -ini sudah tidak tertulis dan harus dicari lagi narasumber-narasumbernya. Beliau-beliau menyimpulkan sudah sangat mendesak berdirinya wadah bagi tumbuh kembang dan terjaganya ajaran Ahlussunah wal Jama’ah. Akhirnya diistikhorohi oleh para ulama-ulama Haromain, lalu mengutus KH. Hasyim Asy’ari untuk pulang ke Indonesia agar menemui dua orang di Indonesia. Kalau dua orang ini mengiakan jalan terus, kalau tidak jangan diteruskan. Dua orang tersebut yang pertama Habib Hasyim bin Umar bin Thoha bin Yahya Pekalongan, yang satunya lagi Mbah Kholil Bangkalan.
Oleh sebab itu tidak heran jika Mukatamar NU yang ke-5 dilaksanakan di Pekalongan tahun 1930 M untuk menghormati Habib Hasyim yang wafat pada itu. Itu suatu penghormatan yang luar biasa. Tidak heran kalau di Pekalongan sampai dua kali menjadi tuan rumah Muktamar Thoriqoh.
Tidak heran karena sudah dari sananya, kok tahu ini semua sumbernya dari mana? Dari seorang yang sholeh, Kiyai Irfan. Suatu ketika saya duduk-duduk dengan Kiyai Irfan, Kiyai Abdul Fatah dan Kiyai Abdul Hadi. Kiyai Irfan bertanya pada saya: “Kamu ini siapanya Habib Hasyim?”. Yang menjawab pertanyaan itu adalah Kiai Abdul Fatah dan Kiai Abdul Hadi: “Ini cucunya Habib Hasyim Yai”.
Akhirnya saya diberi wasiat: “Mumpung saya masih hidup tolong catat sejarah ini. Mbah Kiyai Hasyim Asy’ari datang ke tempatnya Mbah Kiyai Yasin, Kiyai Sanusi ikut serta pada waktu itu. Di situ diiringi oleh Kiyai Asnawi Kudus, terus diantar datang ke Pekalongan. Lalu bersama Kiyai Irfan datang ke kediamannya Habib Hasyim. Begitu KH. Hasyim Asy’ari duduk, Habib Hasyim langsung berkata: “Kyai Hasyim Asy’ari, silakan laksanakan niatmu kalau mau membentuk wadah Ahlussunah wal Jama’ah. Saya rela tapi tolong saya jangan ditulis.”
Itu wasiat Habib Hasyim, terus Kiyai Hasyim Asy’ari merasa lega dan puas. Kemudin Kiyai Hasyim Asy’ari menuju ke tempatnya Mbah Kiyai Kholil Bangkalan. Kemudian Mbah Kiyai Kholil bilang sama Kiyai Hasyim Asyari: “Laksanakan apa niatmu saya ridho seperti ridhonya Habib Hasyim tapi saya juga minta tolong nama saya jangan ditulis.”
Kata Kiyai Hasyim Asy’ari ini bagaimana Kiyai, kok tidak mau ditulis semua. Terus Mbah Kiyai Kholil menjawab: “Kalau mau tulis silakan tapi sedikit saja.” Itu tawadhu’nya Mbah Kiyai Ahmad Kholil Bangkalan. Dan ternyata sejarah tersebut juga dicatat oleh Gus Dur.
Inilah sedikit perjalanan Nahdlatul Ulama (NU). Inilah perjuangan pendiri Nahdlatul Ulama. Para pendirinya merupakan tokoh-tokoh ulama yang luar biasa. Makanya hal-hal yang demikian itu tolong ditulis. Agar anak-anak kita itu tidak terpengaruh oleh yang tidak-tidak, sebab mereka tidak mengetahui sejarah. Anak-anak kita saat ini banyak yang tidak tahu, apa sih NU itu? Apa sih Ahlussunah wal Jama’ah itu? Lha ini permasalahan kita.
Upaya pengenalan itu yang paling mudah dilakukan adalah dengan memasang foto-foto para pendiri NU, khususnya foto Hadhratus Syekh KH. Hasyim Asy’ari.
(Disampaikan oleh Maulana al-Habib Luthfi bin Yahya pada Harlah NU di Kota Pekalongan tahun 2010)
Habib Hasyim merintis dakwah dan mendirikan pesantren dan madrasah addiniyah pertama di Kota Pekalongan. Pondok pesantren tersebut didirikan untuk masyarakat umum yang santrinya tidak hanya dari kalangan habaib. Habib Hasyim dan para ulama’ merintis dakwah melalui Maulid Nabi sehingga masyarakat lebih jauh mengenal dan mengerti Islam, Al Qur’an dan lain sebagainya dalamsyariatillah (syariat Allah) dan mengenal pembawa Al-Qur’an yaitu Baginda Nabi Muhammad SAW. Maulid tersebut melahirkan pecinta-pecinta atau muhibbin, cinta kepada Rasul dan juga mencintai kepada Allah. Seseorang yang tumbuh kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya, maka akan cinta kepada Al-Qur’an dan akan lebih berpegang teguh kepada Kitabullah (Kitab Allah) dan Sunnah Rasul.
Maulid yang diselenggarakan oleh Habib Hasyim bertempat di Masjid Nur Kota Pekalongan. Habib Hasyim dalam mengadakan maulid tidak memungut bantuan dari manapun karena kekayaan Habib Hasyim dicurahkan untuk dunia pendidikan dan dakwah. Penghasilan Habib Hasyim berupa pertanian yang cukup luas di Indramayu tempat kelahirannya, disamping bisnis yang lainnya. Habib Hasyim wafat dengan meninggalkan masjid, pondok pesantren dan madrasahnya beserta kitab-kitab beberapa lemari dan dua jubahnya. Satu jubah untuk sholat bergantian dan satunya yang dipakai waktu meninggal. Pakaian Habib Hasyim yang baru banyak diberikan kepada masyarakat yang tidak mampu.
Habib Hasyim mempunyai cara mendidik para putra putrinya dan juga santrinya dengan tidak memberi umpan atau ikan tapi selalu memberi kailnya sehingga murid dan putra putrinya militan.
Habib Hasyim sebelum membangun dan membawa pesantren, tidak pernah berhenti berdakwah masuk dari satu desa ke desa lainnya. Beberapa mushola dibangun oleh Habib Hasyim di Pekalongan. Semenjak muda harta, benda, dan tenaga Habib Hasyim dicurahkan untuk kepentingan agama atau Allah.
Perkembangan Maulid dari tahun itulah mulai ramai di Kota Pekalongan dan semakin pesat sehingga tidak terlepas dari kecurigaan penjajah. Para penjajah memandang maulid tersebut tidak bertendensi politik. Habib Hasyim khususnya pada waktu itu sangat besar pengaruhnya karena Habib Hasyim menjadi rujukan para ulama di jaman itu diantaranya Mbah Hasyim Asy’ari dan Kyai Muh Amir (Ki mir) Simbang dan tokoh-tokoh lainnya yang terkenal ke-allamah-annya (sangat alim) sehingga pihak penjajah sangat hati-hati sekali dalam menghadapinya menakutinya. Bahkan kyai Amir mengatakan bahwa Habib Hasyim itu ‘allamatud dunya fii zamaanihwallahu a'lam

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pengertian dan Manfa’at Manaqib