al-Habib Ali bin Umar Ba faqih (Negara, Bali)
Siapa yang sangka ternyata Bali yang di juluki Pulau Dewata ternyata menyimpan khasanah dakwa Islam. Kalau di Pulau Jawa terkenal dengan sebutan Wali Songo (sembian Wali) yang merupakn penyebar Islam Di Nusantara, di Bali disebut Wali Pitu (Tujuh Wali) siapa saja wali pitu yang ada di bali ? Mas Sepuh Raden Raden Amangkuningrat di Kabupaten Badung, Chabib Umar Bin Maulana Yusuf Al Magribi di Tabanan, Chabib Ali Bin abu Bakar Bin Umar Bin Abu Bakar Al Khamid di Klungkung, Habib Ali Zaenal Abidin Al Idrus di Karangasem, Syech Maulana Yusuf Al Baghdi Al Magribi di Karangasem, The Kwan Lie di Buleleng, dan Habib Ali Bin Umar Bin Abu Bakar Bafaqih di Jembrana.
Disi kami tidak akan membahas semuanya tapi hanya Habib Ali Bin Umar Bin Abu Bakar Bafaqih di Jembrana sekilas tentang kehidupan Beliau dan Makamnya yang sering di kunjungi turis/peziarah dari berbagai pelosok negeri mulai dari Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Lampung, hingga peziarah yang datang dari Negeri Jiran seperti Trengganu Malaysia.
HABIB ALI BIN UMAR BIN ABU BAKAR BAFAQIH
KH. Habib Ali Bafaqih dilahirkan dari pasangan Habib Umar dan Syarifah Nur, Beliau lahir pada tahun 1890 di Banyuwangi. Menjelang usia 20 tahun, atau sekitar tahun 1910, Sayyid Ali “berlayar” ke tanah suci Mekah untuk memperdalam ilmu agamanya. Keberangkatan ke Mekah ini atas “sponsor” Haji Sanusi, ulama terkemuka di Banyuwangi pada masa itu. Beliau mukim di Siib Ali (Mekah) lebih kurang tujuh tahun lamanya. Sepulang dari Mekah, Habib Ali kembali ke tanah air dan menambahkan ilmunya kepada Syaikhona mbah Khalil Bandgkalan kemudian di Pondok pesantren di Jombang yang di asuh oleh Kyai Wahab Abdullah. Selain mendalami ilmu Al Quran di waktu mudanya beliau dikenal sebagai pendekar silat yang sangat tangguh.Jauh sebelum beliau mendirikan Pondok Pesantren “Syamsul Huda” di Loloan Barat Kecamatan Negara Kabupaten Jembrana, Beliau mengajar di Madrasah Khairiyah selama setahun di daerah kelahirannya Banyuwangi. Perjalanan ke Bali beliau lakukan perjalan ini atas permintaan Datuk Kyai Haji Mochammad Said, seorang ulama besar di Loloan. Mulailah Syiar Islam berbinar di Loloan dengan makin bertambahnya ulama setingkat Kyai Sayyid Ali Bafaqih.
Baru pada tahun 1935 beliau mendirikan Pondok Pesantren Syamsul Huda yang kini telah meneteskan ribuan ulama, da’i dan ustazah. Para santri datang dari berbagai pelosok desa di tanah air. Mereka belajar membaur dengan kehidupan masyarakat Loloan yang sejak ratusan tahun lalu telah dikunjungi oleh ulama-ulama tangguh dari berbagai daerah.Tak terkecuali ulama besar dari Trengganu (Malaysia) yang meninggalkan negerinya lalu hijrah ke Loloan sekitar awal abad 19.
Sayyid Ali Bafaqih langsung berkata: “Jangan sekali-kali tuan berani mengartikan Al-Qur’an dan Hadis Nabi jika tuan sendiri tidak memahami bahasa Arab dengan benar!”
Islam datang ke Bali yang mayoritas Hindu itu tampil dengan penuh toleransi dan kedamaian, sehingga masyarakat tidak terusik. Bahkan selama masa perjuangan kedua komunitas agama yang berbeda itu bahu membahu dalam melawan Belanda.
Tetapi sejak tahun 1934, pulau Bali dijadikan target gerakan puritanisme yang dikomandoi oleh kelompok yang mengaku modernis Islam alias sekte wahabi / salafi. Beberapa tokoh wahabi dikirim dari Solo dan Banyuwangi untuk menancapkan pengaruhnya dengan cara menyerang habis-habisan tradisi Islam yang tumbuh di tengah-tengah masyarakat setempat. Slogan taklid buta, bid’ah, khurafat dan tahayyul pun mereka jadikan platform perjuangan.
Mereka juga tak segan-segan menuduh praktek beragama ulama dan masyarakat Muslim Bali sebagai bentuk peribadatan yang telah tercemari oleh perbuatan syirik. Tentu saja masyarakat Islam Bali tidak tinggal diam dengan tuduhan tersebut. Mereka tidak terima jika faham ahlussunnah wal jama’ah yang selama ini diwariskan oleh para ulama mereka dituduh menyimpang, bahkan dianggap mengajarkan ajaran yang sesat. Oleh sebab itu, beberapa kali tokoh-tokoh sekte wahabi / salafi diusir karena dianggap meresahkan dan memancing permusuhan di kalangan masyarakat.
Namun setelah diusir, ada saja utusan baru yang dikirimkan dan mendekati masyarakat dengan strategi yang berbeda. Hingga suatu ketika, salah seorang tokoh sekte wahabi/salafi yang merasa ingin membuktikan kebenaran ajaran yang dipeluknya menantang para ulama Bali untuk membuktikan ajaran siapa yang lebih benar melalui perdebatan bukan dengan kekuatan massa tetapi dengan kekuatan nalar.
Mendengar berita ini, KH Sayyid Ali Bafaqih yang terkenal sangat tegas segera tampil menerima tantangan dari tokoh sekte wahabi/salafi itu. Pada hari dan tempat yang telah ditentukan, kedua tokoh berseberangan faham itu pun bertemu. Disaksikan oleh masyarakat luas adu argumen pun segera dimulai. Sebagai bentuk penghormatan, tokoh sekte wahabi/salafi pun dipersilahkan untuk terlebih dahulu membuka pembicaraan, memaparkan ajarannya.
Setelah mengucapkan salam dan hamdalah tokoh sekte wahabi/salafi tersebut mulai berorasi dengan suara lantang. Tapi baru saja ia berkata; “Rasulullah bersabda: “Man kana…”
“Behenti dulu… Berhenti dulu!!” teriak Sayyid Ali Bafaqih memotong pembicaraan dengan suara lebih lantang seraya mengangkat tangan kanannya. Tentu saja, semua yang ada di tempat kejadian terheran-heran dan berbisik mengenai tindakan Sayyid Ali tersebut.
Ketika merasa semua orang mulai tenang, Sayyid Ali Bafaqih pun kemudian berkata: “Sebelum tuan meneruskan sabda Rasulullah tersebut saya hendak bertanya,
” ‘man’ itu huruf apa dan dalam gramatika Arab kedudukan sebagai apa?”
Mendengar pertanyaan yang tidak pernah disangkanya, tokoh sekte wahabi/salafi tersebut lantas terdiam. Ia mencoba untuk mengelak namun Sayyid Ali tidak mau meneruskan perdebatan sebelum mendapatkan jawaban. Karena sudah sangat terpojok, sang tokoh sekte wahabi/salafi pun mengaku tidak mengetahui jawabannya. Tapi ia berjanji akan memberikan jawaban di luar masalah huruf ‘man’.
Setelah mendengar pengakuan rivalnya itu, Sayyid Ali langsung berkata: “Jangan sekali-kali tuan berani mengartikan Al-Qur’an dan Hadis Nabi jika tuan sendiri tidak memahami bahasa Arab dengan benar!”
Akhirnya, dalam perdebatan tersebut, Sayyid Ali berhasil memenangkan perdebatan nya tanpa harus bersusah payah. Sementara rivalnya sekte wahabi/salafi sendiri tertunduk malu dan meninggalkan arena tanpa daya. (Sumber NU Online)
KH.
Habib Ali Bafaqih wafat pada tahun 1997 pada usia 107 tahun. Karena
perjuangan dan kegigihanya untuk menyebarkan atau mensyiarkan agama
Islam dan juga ketinggian ilmunya maka beliau dianggap sebagai salah
satu “Wali Pitu” yang ada di Bali. Kini Makam beliau banyak di kunjungi
atau diziarahi orang dari berbagai pelosok negeri mulai dari Jakarta,
Bandung, Lampung, tak kurang dari 10 Bus pariwisata yang datang ke
Loloan. Syiar Islam di Bali pada masa silam telah meninggalkan sejumlah
“Karya Besar” yang pada masanya kini dapat dijadikan landasan kikih bagi
syiar Islam di masa-masa yang akan datang. Kampung Loloan telah menjadi
legenda syiar Islam yang tetap hidup di Bali.
Makam Habib Ali beralamat Jln. Nangka No. 145 di Desa Loloan Barat Kecamatan Negara Kabupaten Jembrana. Beliau di makamkan di Area Pondok Pesantren “Syamsul Huda” .
Komentar
Posting Komentar