al-Habib Ali bin Husain al-Aththas (Bungur)
Dari Huraidhah ke Betawi Nasabnya Al
Habib Ali bin Husein bin Ali bin Muhammad bin Ja’far bin Ali bin Husein
bin Al Quthb Al Habib Umar bin Abdurrahman bin Aqil Al Aththas bin
Salim bin Abdullah bin Abdurrahman bin Abdullah bin Abdurrahman
As-Seqqaf bin Muhammad Mauladawileh bin Ali Maula Darrak bin Alwy
Al-Ghuyyur bin Al-Faqih Al-Muqaddam bin Muhammad Shahib Marbath bin Ali
Qasam bin Alwy bin Muhammad bin Alwy bin Ubaidullah bin Ahmad Al-Muhajir
bin Isa Ar-Rumi bin Muhammad An-Naqib bin Ali Ar-Uraidhi bin Ja’far
Shadiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husein As-Sibthi
bin Ali bin Abi Thalib ibin Sayidatina Fathimah Az-Zahra binti
Rasulullah SAW Masa Kecil Habib
Ali Bungur lahir di Huraidhah, Hadhramaut, 1 Muharram 1309 H atau
sekitar 1891 M[5]. Ia hidup dalam keluarga yang sangat taat beragama dan
menjunjung tinggi tradisi para shalafunassalihin dari kalangan
Ba'alawi[5]. Pendidikan pertama kali ia dapatkan dari kedua
orangtuanya[5]. Saat usia 6 tahun telah hafal 30 Juzz Alqur'an di tangan
Ibundanya, dan pada usia 12 Tahun sudah Hafal Kitab Shohih Bukhari dan
Muslim serta kitab kitab lain seperti : Minhaj, Bahjah, Tuhfah dan
fatawa Qubro[6]. Semenjak usia 6 tahun ia belajar berbagai ilmu
keislaman pada para ulama dan auliya yang hidup di Hadhramaut saat
itu[4]. Hijrah Ke Indonesia Pada
1920, dalam usia 29 tahun, ia pun berangkat ke Jakarta, Indonesia[7].
Hanya dalam waktu singkat, almarhum yang selalu dekat dengan rakyat itu,
telah dapat menguasai bahasa Indonesia[3]. Ia mula-mula tinggal di
Cikini, berdekatan dengan Masjid Cikini, yang dibangun oleh pelukis
Raden Saleh[3]. Ia dengan cepat dapat menarik perhatian masyarakat
setempat[3]. Setelah menetap di Jakarta, ia berguru kepada para ulama
yang berada di tanah air, di antaranya :
Dakwah Semasa
hidupnya, ia tidak pernah berhenti dan tak kenal lelah dalam berdakwah.
Salah satu karya terbesarnya adalah kitab Tajul A’ras fi Manaqib
Al-Qutub Al-Habib Sholeh bin Abdullah Al-Attas, sebuah kitab sejarah
para ulama Hadhramaut yang pernah ia jumpai, dari masa penjajahan
Inggris di Hadhramaut, hingga sekilas perjalanan para ulama Hadramaut di
Indonesia dan juga buku itu juga berisi tentang beberapa kandungan ilmu
tasawuf dan Thariqah Alawiyah[3][4]. Habib
yang dikenal sebagai guru dari sejumlah ulama terkemuka di Betawi itu,
pada masa hidupnya dikenal sebagai ulama ahli dalam bidang fikih,
falsafah, tasawuf, dan perbandingan mazhab[3]. Menguasai berbagai kitab
kuning dari berbagai mazhab, Habib Ali Alatas, selama 56 tahun telah
mengabdikan diri untuk perjuangan agama[3]. Bukan saja di Indonesia,
juga di Malaysia dan Singapura, banyak muridnya[3]. Al-Habib
Ali bin Husin Al-Attas semasa hidupnya tak pernah berhenti memberikan
pengajaran kepada Muslimin[3]. Dengan jubah dan serban serta selempang
hijau (radi), Habib Ali Cikini selalu naik beca atau kendaraan umum,
karena sikap ia yang ingin berdiri diatas kaki sendiri[3]. Sering di
antara murid-muridnya memaksa ia untuk menaiki mobilnya karena beca
telah sukar dan melihat umur Habib tadi sudah lanjut[3]. Haji Abu Bakar
Aceh, anggota MPR, secara tepat menyatakan bahwa Almarhum Habib Ali bin
Husin Al-Attas telah memanifestasikan sikap hidup keluarga Ahlil Bait,
yakni menunjukkan sikap kerakyatan, tidak berlebihan dan dicintai Rakyat
semuanya[3]. Triumvirat Sekitar
tahun 1940 Jakarta atau dulu di sebut Betawi punya Banyak Tokoh ulama
dan pejuang dan yang paling menjadi panutan dan memiliki banyak murid
yang tersebar di tanah air adalah Habib Ali bin Abdurrahman Al
Habsyi(Habib Ali Kwitang), Habib Ali bin husen Al athos dan Habib Salim
bin Djindan[3]. Tiga Serangkai(triumvirat) Ulama tersebut yang dengan
gencar memperjuangkan Syiar-syiar agama Ijlam[3].Habib Salim bin Djindan
mengatakan bahwa Al-Habib Ali bin Husein Al-Atthas dan Al Habib Ali
Kwitang bagaikan kedua bola matanya, dikarekan keluasan khazanah
keilmuan kedua habib itu[3]. Murid Habib Ali Bungur Seperti
dikemukakan oleh putranya, yang kini meneruskan majelis taklim
‘Al-Khairat’ di Condet, ayahnya memang tidak mau menonjolkan diri.
Padahal, di antara para muridnya merupakan ulama terkemuka kala itu,
seperti:
Bahkan, para muridnya itu kemudian menjadi guru para mubaligh, dan perguruan tinggi Islam. Menurut
Habib Husein (putra Habib Ali Bungur), ayahnya sangat gandrung kepada
persatuan umat (ukhuwwah Islamiyah). Di samping sabar dan tidak mengenal
lelah dalam melaksanakan dakwah. Selain di kediamannya, menurut
putranya Habib Husein, ayahnya juga mengajar di berbagai tempat. Seperti
pada setiap habis shalat Jumat, dia mengajar di Attahiriyah. Ulama yang
ikut berguru, bukan hanya dari Jakarta, tapi juga dari Bogor, Cianjur,
dan Sukabumi. Habib Husein sendiri di kediamannya di Condet, membuka
pengajian untuk masyarakat setempat setiap Ahad malam yang dihadiri
sekitar 300-400 jamaah. Berjubah dan
bersurban putih, serta selempang hijau (radi), Habib Ali bin Husin
Alatas, baik semasa tinggal di Cikini maupun Bungur menerima
murid-muridnya atau masyarakat yang ingin menanyakan sesuatu hukum atau
persoalan agama. Seperti diungkapkan Habib Ali bin Abdurahman Assegaff
(62), dalam mengajar, almarhum biasanya berhadap-hadapan dengan para
kiai atau ulama ternama yang datang ke kediamannya. Para ulama ini
umumnya para pimpinan majelis taklim. Setelah
menempuh pendidikan belasan tahun, pada tahun 1912 dalam usia 21 tahun
ia pun menunaikan ibadah haji di Makkah[7], serta berziarah ke makam
datuknya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam di Madinah[4]. Habib Ali
menetap selama lima tahun di Makkah[3][4], yang waktunya dihabiskan
untuk menuntut ilmu pada sejumlah ulama, yang berada di Hijaz[4]. Pada
tahun 1917, ia kembali ke Huraidhah, dan mengajar di kota yang banyak
memiliki pesantren itu, selama tiga tahun<[7]. Di
kediamannya itu, Habib Ali menerima mereka yang membacakan suatu kitab
atau menanyakan suatu masalah kepadanya. Lalu almarhum menerangkan
mengenai isi kitab tersebut. Habib Ali Assagaff yang pernah beberapa
tahun berguru kepada almarhum membenarkan, umumnya yang belajar kepada
beliau adalah para ulama dan kiai ternama. Tapi banyak yang ketika itu
menjadi kader-kader ulama, kini telah berhasil menjadi ulama
terkemuka. Misalnya KH Abdullah Syafiie, KH Tohir Rahili, KHM Syafi’i
Hadzami, atau KH Nur Ali dari Bekasi, yang pada masa revolusi fisik
(1945) menggerakkan rakyat melawan Belanda. Sejumlah ulama Betawi
lainnya dari generasi yang lebih muda antaranya KH Abdurahman Nawi,
pimpinan majelis taklim Al-Awwabin di Tebet (Jakarta Selatan), dan Depok
(di kawasan Bintara dan Tugu-Sawangan). Tapi, menurut Habib Ali
Assagaff, di antara ulama-ulama ternama juga banyak dari luar Jakarta.
Bahkan dari Jawa Timur seperti Habib Husein Almuchdor (Bondowoso), Habib
Abdullah Bilfagih (Malang). Meskipun para
murid yang belajar kepadanya tidak bersifat massal seperti di
majelis-majelis taklim, tapi almarhum Habib Ali seringkali mendatangi
diskusi dan pengajian antar-ulama dan kader-kader ulama. Jumlah mereka
memang tidak banyak, hanya puluhan orang. Seperti
dikemukakan putranya Habib Husein, biasanya pengajian yang dihadiri
lebih banyak muridnya diadakan secara rutin di majelis taklim
Attahiriyah, pimpinan KH Tohir Rohili. Akan tetapi, sering pula
pengajian semacam ini diadakan di kediaman atau pengajian KH Abdullah
Syafi’ie (As-Syafiiyah), KHM Syafi’i Hadzami (Majelis Taklim
Asyirotusy-Syafi’iyah) dan di majelis taklim Habib Abdurahman Assegaff,
di Bukit Duri, Jakarta Timur. Tidak seperti di
majelis taklim Kwitang misalnya, dimana Habib Ali Alhabsyi, mengajar di
hadapan ribuan jamaah, Habib Ali Alatas hanya di kalangan terbatas.
Seperti dikemukakan oleh KHM Syafi’i Hadzami, salah satu murid
kesayangannya, cara mengajarnya ialah mendengarkan para murid-muridnya
satu persatu membacakan kitab. Lalu beliau memberikan keterangan, dan
dilanjutkan dengan tanya jawab. Baik di Cikini, maupun di Bogor, selama
56 tahun Habib Ali membuka semacam majelis talim khusus untuk para
pimpinan dai dan mubaligh. Antara keduanya sampai akhir hayat terjalin
hubungan yang sangat akrab, dan keduanya setiap saat sering bertemu.
Dalam diskusi terbatas semacam ini, sejumlah kitab yang menjadi rujukan
ulama salaf dibahas. Seperti kitab Minhajud Thalibin, kitab Hadis
Bukhari-Muslim, hingga kepada kitab-kitab Ihya Ulumuddin-nya Imam
Al-Ghazali. Sejumlah ajengan dan mubaligh dari
Bogor, Sukabumi, dan Cianjur, banyak yang mendatanginya. Almarhum juga
teman akrab para ulama intelektual kala itu, seperti Buya KH Abdullah
bin Nuh, Prof Dr Abubakar Atjeh, dan juga Hamka. Menurut Syafi’i
Hadzami, salah seorang murid terdekat almarhum, dia telah menimba ilmu
kepadanya selama 18 tahun. Dari tahun 1958
hingga saat meninggalnya almarhum pada Pebruari 1976. Begitu cintanya ia
kepada gurunya ini, sehingga ketika habib Ali pindah ke Bungur, KH
Syafi’i dari Kebon Sirih ikut-ikutan pindah. Setelah Habib Ali meninggal
dunia, kecintaannya terhadap gurunya ini tidak berkurang. ”Setiap kali
saya melewati daerah makamnya di Cililitan, saya selalu membacakan
Fatihah dan mendoakannya,” kenang Hadzami dalam buku Sumur yang tak
Pernah Kering. Ke Jakarta Habib
Ali bin Husin Alatas dilahirkan di Huraidhah, Hadramaut, pada tanggal 1
Muharram 1309 atau 1889 Masehi, juga dikenal dengan sebutan Habib Ali
Bungur. Karena pada akhir hayatnya, ia dan keluarga tinggal di Bungur,
Jakarta Pusat. Sebelumnya, guru sejumlah kiai Jakarta ini tinggal di
Cikini, Jakarta Pusat. Hingga kala itu namanya dikenal dengan sebutan
Habib Ali Cikini. Sejak usia enam tahun ia telah menuntut ilmu keislaman
pada sebuah ma’had atau pesantren di Hadramaut. Setelah menempuh
pendidikan belasan tahun, pada tahun 1912 dalam usia 23 tahun ia pun
menunaikan ibadah haji. Di kota suci ini, Habib Ali menetap selama lima
tahun yang waktunya dihabiskan untuk menuntut ilmu pada sejumlah ulama.
Pada tahun 1917, ia kembali ke Huraidhah, dan mengajar di kota yang
banyak memiliki pesantren itu. Guru beliau
setelah menetap di Jakarta: Al Habib Abdullah bin Muhsin Al
Attas(Empang, Bogor), Al Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib Al Attas
(Pekalongan), Al Habib Muhammad bin Idrus Al Habsy (Surabaya) dan Al
Habib Muhammad bin Ahmad Al Muhdor (Bondowoso) Tiga
tahun kemudian, tepatnya pada 1920, dalam usia 41 tahun, ia pun
berangkat ke Jakarta. Hanya dalam waktu singkat, almarhum yang selalu
dekat dengan rakyat itu, telah dapat menguasai bahasa Indonesia. Ia
mula-mula tinggal di Cikini, berdekatan dengan Masjid Cikini, yang
dibangun oleh pelukis Raden Saleh. Ia dengan cepat dapat menarik
perhatian masyarakat setempat. Di daerah
Cikini beliau tinggal, sebuah kampung yang masyarakatnya hidup dibawah
garis kemiskinan, beliau tinggal bersama-sama rakyat jelata dan setiap
orang yang mengenal beliau akan berkata “Hidupnya sederhana, tawadhu`,
teguh memegang prinsip, menolak pengkultusan manusia, berani membela
kebenaran, mendalam di bidang ilmu pengetahuan, luas dalam pemikiran,
tidak membedakan antara kaya dan miskin, mendorong terbentuknya Negara
Indonesia yanga bersatu, utuh serta berdaulat, tidak segan-segan menegur
para pejabat yang mendatanginya dan selalu menyampaikan agar jurang
pemisah antara pemimpin dan rakyat dihilangkan dan rakyat mesti
dicintai”. Hal inilah yang menyababkan rakyat mencintai Al Habib Ali bin
Husein Al Attas. Semasa hidupnya beliau tak pernah berhenti dan tak
kenal lelah dalam berdakwah. Salah satu karya terbesar beliau adalah
“Tajul A`ras fi Manaqib Al Qutub Al Habib Sholeh bin Abdullah Al Attas”,
sebuah kitab sejarah para ulama Hadramaut yang pernah beliau jumpai,
dari masa penjajahan Inggris di Hadramaut hingga sekilas perjalanan para
ulama Hadramaut ke Indonesia. Buku itu juga berisi beberapa kandungan
ilmu Tasawuf dan Thariqah Alawiyah. Semasa hidupnya Habib Ali selalu
berjuang membela umat, kesederhanaan serta Istiqamahnya dalam
mempraktekkan ajaran islam dalam kehidupan sehari- hari menjadi tauladan
yang baik bagi umat. Beliau selalu mengajarkan dan mempraktekkan bahwa
islam mengajak umat dari kegelapan pada cahaya yang terang, membawa dari
taraf kemiskinan kepada kesejahteraan. Habib
yang dikenal sebagai guru dari sejumlah ulama terkemuka di Betawi itu,
pada masa hidupnya dikenal sebagai ulama ahli dalam bidang fikih,
falsafah, tasawuf, dan perbandingan mazhab. Menguasai berbagai kitab
kuning dari berbagai mazhab, Habib Ali Alatas, selama 56 tahun telah
mengabdikan diri untuk perjuangan agama. Bukan saja di Indonesia, juga
di Malaysia dan Singapura, banyak muridnya. Tiga Habib Sekitar
tahun 1940 Jakarta atau dulu di sebut Betawi punya banyak tokoh ulama
dan pejuang dan yang paling menjadi panutan dan memiliki banyak murid
yang tersebar di tanah air adalah Tiga Habib. Yaitu Habib Ali bin
Abdurrahman Al Habsyi (Habib Ali Kwitang), Habib Ali bin Husein Alatas
dan Habib Salim bin Djindan. Foto Tiga Habib ini sangat terkenal,
sehingga dipajang di ruang-ruang tamu penduduk Betawi. Tiga Serangkai
(triumvirat) ulama tersebut yang dengan gencar memperjuangkan
syiar-syiar agama Islam. Habib Salim bin Djindan mengatakan bahwa
Al-Habib Ali bin Husein Al-Atthas dan Al Habib Ali Kwitang bagaikan
kedua bola matanya, dikarenakan keluasan khazanah keilmuan kedua habib
itu. Habib Ali bin Husein
Al-Atthos, beliau lebih dikenal dengan sebutan Habib Ali Bungur. Beliau
merupakan rantai jaringan Ulama Betawi sampai sekarang ini. Beliau
memiliki jasa yang sangat besar dalam menorehkan jejak langkah dakwah
dikalangan masyarakat Betawi. Beliau menjadi rujukan umat di zamannya,
Al-Habib Salim bin Jindan mengatakan bahwa Al-Habib Ali bin Husein
Al-Atthas dan Al-Habib Ali Kwitang bagaikan kedua bola matanya,
dikarekan keluasan khazanah keilmuan kedua habib itu. Seperti
dikemukakan oleh putranya, yang kini meneruskan majelis taklim
‘Al-Khairat’ di Condet, ayahnya memang tidak mau menonjolkan diri.
Padahal, di antara para muridnya merupakan ulama terkemuka kala itu.
Seperti KH Abdullah Sjafi’ie, pimpinan majelis taklim Assyfi’iyah, KH
Tohir Rohili, pimpinan majelis taklim Attahiriyah, KH Syafi’i Hadzami
(ketua umum MUI Jakarta), dan puluhan ulama lainnya. Bahkan, para
muridnya itu kemudian menjadi guru para mubaligh, dan perguruan tinggi
Islam. Menurut Habib Husein (62 tahun), ayahnya
sangat gandrung kepada persatuan umat (ukhuwwah Islamiyah). Di samping
sabar dan tidak mengenal lelah dalam melaksanakan dakwah. Selain di
kediamannya, menurut putranya Habib Husein, ayahnya juga mengajar di
berbagai tempat. Seperti pada setiap habis shalat Jumat, dia mengajar di
Attahiriyah. Ulama yang ikut berguru, bukan hanya dari Jakarta, tapi
juga dari Bogor, Cianjur, dan Sukabumi. Habib Husein sendiri di
kediamannya di Condet, membuka pengajian untuk masyarakat setempat
setiap Ahad malam yang dihadiri sekitar 300-400 jamaah. Bersama rakyat jelata Baik
selama di Cikini, maupun di Bungur, almarhum menetap di lingkungan
kampung bersama rakyat jelata. Seperti dikemukakan oleh salah satu
muridnya, Habib Ali bin Abdurahaman Assegaff, salah satu pimpinan jamaah
shubuh di Tebet, ”Setiap orang yang mengenal almarhum selalu akan
berkata, hidupnya sederhana, dan tawadhu.” Setahu saya, kata Habib Ali
Assegaff (60 tahun), ”Beliau tidak pernah menyakiti sesama manusia,
teguh memegang prinsip, menolak pengultusan, berani membela kebenaran,
luas dalam pemikiran.’ Yang perlu diikuti oleh
para ulama masa kini, kata Habib Ali Assegaff, beliau tidak
membeda-bedakan kaya dan miskin. Dalam mendekatkan diri dengan rakyat
jelata ini, putranya menerangkan, almarhum ayahnya selalu naik becak
atau kendaraan umum, karena sikapnya yang ingin berdiri dengan kaki
sendiri. Melihat keadaan ini, sering di antara para muridnya yang
memaksa beliau untuk menaiki mobilnya. Karena tidak tega melihatnya naik
becak dalam usia lanjut. Sampai akhir
hayatnya, ia tidak memiliki mobil karena menerapkan hidup sederhana dan
tidak pernah mau menadahkan tangan kepada orang kaya. Ketika berdakwah
ke berbagai tempat ia lebih banyak naik becak. Hanya dalam waktu
singkat, ia pun menjadi sumber ilmu dari para kiai dan ulama kala itu.
Hingga kediamannya di Cikini, di sebuah gang kecil yang tidak dapat
dimasuki mobil, selalu didatangi para muridnya yang ingin menambah ilmu.
Pada tahun 1960′an, rumahnya di Cikini terbakar. Maka ia pun pindah ke
Bungur, sebuah kampung di kawasan Senen, yang mayoritas penduduknya
warga Betawi. Di samping itu, Habib Ali pun
dalam dakwah Islamnya banyak mendatangi berbagai tempat di Pulau Jawa.
Seperti yang dikemukakan oleh KH Idham Chalid, yang juga pernah berguru
padanya, almarhum dalam perjuangannya tidak pernah menonjol-nonjolkan
diri bahwa ia seorang yang pandai. Ketua DPR/MPR KH Idham Chalid, yang
juga ketua umum PBNU. Idham Chalid, kala itu mengatakan, almarhum berani
mengoreksi para pemimpin. ”Saya sendiri sering dikoreksinya,” tegas
Idham. Sedangkan Habib Ali Assegaff, salah satu muridnya sangat terkesan
akan ketegasan gurunya itu. Sementara Idham Chalid mengaku, ”Saya
seringkali ditegur karena kesalahan-kesalahan saya, dan almarhum memberi
jalan keluar serta nasihat-nasihat.” Pernyataan ini dilontarkan Idham
Chalid saat memberikan sambutan pada acara pemakaman almarhum di
Cililitan, Jakarta Timur. Bagi KHM Syafi’i Hadzami ada
pengalaman tak terlupakan dengan gurunya itu. Suatu ketika ia menjenguk
gurunya yang sedang sakit di kediamannya. Sebagai penghormatan dan adab
pada guru, ia pun membuka sandalnya di luar kamar. Melihat muridnya
demikian, ia pun menyuruh agar memakai sandalnya itu. Karena KHM Sjafi’i
menolak, Habib Ali yang tengah sakit keluar dari kamarnya. Ia
mengambil sandal muridnya, dan minta agar memakainya. ”Saya terkejut
dengan perlakuan guru saya yang demikian itu,” ujarnya. Selain Sjafi’i
Hadzami, nama-nama besar lain yang pernah menimba ilmu darinya adalah
Habib Muhammad Alhabsyi (putra Habib Ali Kwitang), Habib Abdulkadir bin
Abdullah Bilfagih (Malang), KH Abdullah Syafi’i, KH Tohir Rohili, KH
Abdulrazaq Ma’mun, Prof Dr H Abubakar Atjeh, KH Nur Ali (Bekasi), dan
sejumlah ulama kondang lainnya. (as) Almarhum meninggal dunia pada 16 Pebruari 1976 dalam usia 88 tahun. Guru dari beberapa lembaga ilmiah, majelis taklim, dan perguruan agama ini, memang dikenal low profile. Radio
dan pers Indonesia sejak tanggal 16 dan 17 Februari 1976, terus
mengumandangkan berita duka cita atas berpulangnya ke Rahmatullah Ulama
Besar Indonesia, Habib Ali bin Husen Al-Athas. Dalam
usia 88 tahun, almarhum wafat pada tanggal 16-2-1976 jam 06.10 pagi.
Kontan berbagai penerbitan memberitakan headlines, dan beberapa harian
antara lain: Merdeka, Berita Buana, Kompas, Pos Kota, Pelita, Kantor
Berita ANTARA secara nasional memberikan pemberitaan ditempat terhormat.
Sementara itu radio-radio Asy-Syafi’iyyah, At-Tahyriah serta
Cendrawasih setiap 15 menit memberikan kabar dukacita ini diselingi
pengajian-pengajian Al-Quran. Kantor Berita
Antara mewartakan pada tanggal 16-2-1976, bahwa ribuan pengikut Almarhum
yang mendengar berita wafatnya Habib Ali bin Husin mendatangi
kediamannya untuk memberikan penghormatan terakhir. Sedangkan upacara
penguburan tanggal 17 Februari 1976, di Kramat Jati, Cililitan, ratusan
ribu rakyat mengantarkan ulama besar itu ke tempat peristirahatannya
yang terakhir. Upacara penguburan dipimpin resmi oleh ketua DPR/MPR
Dr.Idham Khalid, serta dihadiri oleh puluhan ulama dan pemimpin rakyat
serta pejabat negara dai Sumatra Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa
Timur dan Madura. Pembacaan talqin menurut harian “Pelita” dibacakan
oleh ulama Jawa Tengah, Habib Ali bin Ahmad Al-Attas. Sedikit tentang Almarhum Habib
Ali bin Husin Al-Attas lebih dikenal sebagai Habib Ali Cikini ini,
karena almarhum lama sekali menetap di Cikini dikampung bersama-sama
rakyat jelata. Setiap orang yang mengenal Habib Ali Cikini ini, pasti ia
akan selalu berkata, hidupnya sederhana, tawadhu’, tidak pernah
menyakiti sesama manusia, teguh memegang prinsip, menolak pengkultusan
manusia, berani membela kebenaran, luas dalam pemikiran, mendalam
dibidang ilmu pengetahuan, tidak membeda-bedakan kaya dan miskin, khushu
ibadahnya, mendorong terbentuknya nasion Indonesia yang bersatu dan
utuh serta homogen, tidak segan-segan mengkoreksi pembesar dan selalu
memberi petunjuk-petunjuk kepada yang dianggap perlu. Tepat ulasan Radio
‘Asy-Syafiiyah’ yang mengatakan: telah berpulanglah ke Rahmatullah
seorang Ulama Besar, seorang Warasatul Anbiya' yang mempunyai
sifat-sifat dan sikap ke-agungan. Almarhum
Habib Ali bin Husin Al-Attas semasa hidupnya tak pernah berhenti
memberikan pengajaran kepada Muslimin. Berjubah dan serban serta
selempang hijau (radi). Habib Ali Cikini selalu naik beca atau kendaraan
umum, karena sikap beliau yang ingin berdiri diatas kaki sendiri.
Sering diantara murid-muridnya memaksa beliau untuk menaiki mobilnya
karena beca telah sukar dan melihat umur Habib tadi sudah lanjut. Haji
Abu Bakar Aceh, anggota MPR, secara tepat menyatakan bahwa Almarhum
Habib Ali bin Husin Al-Attas telah memanifestasikan sikap hidup keluarga
Ahlil Bait, yakni menunjukkan sikap ke-rakyatan, tidak berlebihan dan
dicintai Rakyat semuanya. Memang setelah kami
lihat rumah kediamannya di Bungur, Jakarta, melelehkan air mata saya.
Saya melihat jenazah Almarhum sedang dibaringkan dibawah langit-langit
(plafond) yang serba bocor. Perabot rumah tangga hanyalah bale-bale dan
beberapa permadani yang tergelar untuk tamu para tamu. Seraya
mendengarkan pengajian dan pembacaan Al-Qur’an, ribuan Rakyat satu
persatu mendatangi Almarhum, membacakan Fatihah, Surat Yasin serta
Tahlil. Saya memandang jenazah Almarhum, melihat keadaan sekelilingnya,
melihat rumah kecil serta terbayangkanlah kebesaran ulama Islam ini,
dimana beliau tidak tertarik pada tarikan-tarikan duniawi tidak
terpengaruh oleh semaraknya kebendaan, tidak terseret arusnya kemegahan,
karena beliau melanjutkan sikap Imam Ali bin Abi Thalib a.s yang
meletakkan dunia ditangan dan bukan meletakkan di hati. Terbayang pada
saya betapa hebatnya Habib Ali bin Husin yang tak pernah menadah
tangannya pada orang-orang kaya harta, sebab Almarhum adalah kaya hati
yang tak mau meletakkan tangannya di bawah, kecuali hanya pada berdoa
kepada Allah SWT. Anti Penjajah Penjajah
adalah jahat, kafir dan wajib diperangi, demikian Habib Ali bin Husin
Al-Athas selalu menganjurkan pada pengikutnya dalam menghadapi
penjajahan Belanda. Dalam memberikan
ulasan-ulasan keagamaan, almarhum selalu mengobarkan semangat anti
penjajah dan membawakan ayat-ayat Al-Quran serta hadits Nabi saw. Yang
menganjurkan perang melawan penjajahan. Demikian pula sikap terhadap
komunis Habib Ali selalu gigih. Disaat kuatnya PKI, beliau selalu bilang
bahwa PKI dan Komunis akan lenyap dari bumi Indonesia dan rakyat selalu
melawan kekuatan atheis. Ini berkah perjuangan para leluhur,
ulama-ulama, dan par wali yang jasadnya bertebaran diseluruh Nusantara”
demikian kata-kata almarhum selama hidupnya sebelum pra G30S/PKI. Maka
tepatlah kata-kata ketua Organisasi Islam Internasional, KH. Ahmad
Syaikhu pada pidato ta’ziah di kediaman almarhum pada tanggal 16
Februari 1972 beliau berkata : “Habib Ali bin Husen Al-Athas selalu berada bersama-sama kita dan memberikan inspirasi di saat-saat kritis” Kehilangan Pelita KH.
Dr. Idham Khalid secara resmi atas nama Rakyat Indonesia menyataka
dukacita atas wafatnnya Habib Ali bin Husin Al-Athas. Ketua DPR/MPR itu
berkata : “Meninggalnya Habib Ali bin Husen Al-Athas bagi umat islam
merupakan kehilangan Pelita yang sanggup menerangi kepulauan Nusantara”.
Kita telah kehilangan seorang yang besar dan yang berpengetahuan luas.
Selama 56 tahun Habib Ali bin Husen tak pernah meninggalkan
perjuangannya dan tak pernah menonjol-nonjolkan diri bahwa ia seorang
yang pandai. Saya sering kali ditegur akan kesalahan-kesalahan saya dan
almarhum memberi jalan keluar serta nasehat-nasehat. “Demikian sambutan
ketua DPR/MPR yang mengharapkan agar para murid-murid dari almarhum
Habib Ali bin Husin terus melanjutkan dan mengamalkan petunjuk-petunjuk
almarhum. Ulama
Besar dari Jawa Timur, Habib Abdullah Bilfagih, menyatakan bahwa
almarhum Habib Ali bin Husin adalah pemimipin rohani Islam yang sangat
mempunyai wibawa kuat dan secara luas ditaati Muslimin, mempraktekkan
azaz-azaz Islam. ,,Ulama Besar dari Mekah, Sayyid Hasan Fad’aq, menulis
kepada saya, “demikian Habib Abdullah bilfagih”, di mana dinyatakan
bahwa Habib Ali bin Husin Al-Athas adalah Quthub, besar pada zamannya,
di seluruh Indonesia. Beliau selalu tekun membaca Al-Qur’an, berani
menegur pembesar-pembesar yang mendatanginya dan selalu mengajarkannya
agar jurang antara pemimpin rakyat dihilangkan, Rakyat mesti dicintai,
dan inilah sebabnya maka Rakyat mencintai Habib Ali bin Husin Al-Athas.” Ulama
Besar Jawa Timur, Habib Muhdar Al-Muhdar, putra dari ulama besar
almarhum Habib Muhammad bin Ahmad Al-Muhdar dari Bondowoso, Jawa Timur,
yang mempunyai jutaan pengikut, terutama dikalangan Madura berkata: “Meninggalnya
almarhum Habib Ali bin Husin Al-Athas, adalah kehilangan besar bagi
Indonesia. Perjuangan almarhum yang berlandaskan kerakyatan,
kesederhanaan serta mempraktekkan norma-norma Islam dalam kehidupan
sehari-hari selalu menjadi tauladan baik bagi ummat. Almarhum tak pernah
muram apabila dihadapkan pada malapetaka, tetapi tawakkal pada Alah
SWT. Uang, harta dan kekayaan tak pernah mengiurkan almarhum, itulah
sebabnya, mengapa almarhum hidup dalam keadaan lebih daripada sederhana.
Almarhum di samping merupakan pimpinan rohani Islam adalah juga
pemimpin dari jutaan Rakyat. Almarhum selalu menghibur dan menjadikan
Rakyat optimis, karena Islam mengajarkan bahwa mahkluk yang paling
dicintai Allah SWT, adalah dia yang dicintai Rakyatnya.” Ulama
besar Jawa Timur itu, Habib Muhdar Al-Muhdar selanjutnya menyatakan
bahwa mempraktekkan petunjuk-petunjuk Habib Ali bin Husin almarhum
adalah membebaskan Rakyat dari penderitaan, dengan Islam mengajak Ummat
dari kegelapan pada cahaya nur yang terang dari taraf kemiskinan kepada
taraf keadilan dan kemakmuran. Menambah Habib Muhdar Al-muhdar : “
Habib Ali bin Husin benar-benar mempraktekan sikap seorang Muslim.
Beliau sebagai pemimpin Islam hidup lebih dari sederhana atau setengah
melarat, tetapi mengajurkan pengikutnya dan Rakyat hidup serba cukup.” Ulama Muhammadiyah, H Abu bakar Aceh menambahkan: "Apabila
mencintai Habib Ali bin Husin, maka pengikutnya harus melanjutkan
perjuangannya. Bagi saya, beliau adalah guru saya, kecintaan saya dan
saya banyak sekali berhubungan dengan beliau.” PERS Tulis ,,,Antara” (16-2-1976) : ,,Almarhum
Habib Ali bin Husin Al-Athas adalah guru dari beberapa lembaga Ilmiah,
Majlis Ta’lim dan perguruan-perguruan Agama. Almarhum adalah ahli dalam
bidang fiqih, falsafah, tassauuf, dan perbandingan mazhab. Selama
hidupnya almarhum telah mengabdikan diri untuk perjuangan agama,bukan
saja di Indonesia, tetapi juga di Malaysia dan Singapura. Murid-murid
almarhum tersebar di nusantara, a.l. ketua DPR/MPR Dr. Idham Khalid.
K.H. Abdullah Syafii, ketua dari perguruan tinggi “Asy-Syafiiyah”, KHS
Muhammad Al-Habsy ketua dari Islamic Center Indonesia, K.H. Tohir Rohili
ketua dari ,,Attahiriyah”. Harian ,,Merdeka “pada tanggal 17 feb 1976 menulis : ,,Ulama Besar Indonesia telah berpulang ke Rahmatullah, Habib Ali bin Husin.” Harian Pelita (18-2-1976) menulis : ,,Sejak
senin yang lalu ummat Islam tercekam rasa duka dengan wafatnya seorang
Ulama Besar, mahaguru kaum Muslimin Indonesia, Habib Ali bin Husin
Al-Athas.” Harapan. Almarhum
Habib Ali bin Husin Al-Athas Ulama Besar Indonesia telah berpulang ke
Rahmatullah. Beliau telah menunaikan mission-nya, tugasnya, telah
mengamalkan dan mewakafkan dirinya untuk perjuangan Islam. Kini kita
ditinggalkan, berkewajiban meneruskan perjuangan almarhum, meninggikan
Syiar-syiar Islam, meluaskan pengetahuan Islam sebagaimana almarhum
juga, sehingga di bidang fiqih almarhum menguasai fiqih-fiqih Syafii,
Ja’fari, Maliki, Hanafi dan Hambali. Dengan memperdalam ilmu dan
mempraktekan amal. Kita akan berbuat semuanya yang diridhai Allah SWT. |
Komentar
Posting Komentar