Al-Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib al-Aththas (Sapuro)
"Syafä'atï tablughu ilä Säfürö," ujar Habib Umar ibn Abdurrahman al-Aththas, Shahibul Ratib al-Aththas (penyusun ratib al-Aththas) suatu hari.
('syafaat'ku akan sampai ke Safuro). Murid-murid beliau cuma mencatat taushiah itu tanpa mampu memahami makna kata SAFURO yang beliau ucapkan. Setelah lebih dari 400 tahun berlalu, barulah orang-orang mengetahui apa itu SAPURO : sebuah komplek pemakaman nun jauh di kawasan pantura pulau Jawa tempat salah satu dzuriyah (keturunan) beliau dimakamkan, di kota Pekalongan, Jawa Tengah. Masya Allah, ternyata memang makam sapuro sudah mendapat karomah dari beliau Habib Umar ibn Abdurrahman al-Aththas, sekitar 400 tahun yang lalu. Habib Umar ibn Abdurrahman al-Aththas, beliau merupakan ulama yang berasal dari Hadramaut,simak manaqib lengkapnya di sini.
Beliau
dilahirkan di kota Hajren, Hadramaut, pada tahun 1255 H. Pada masa
kecilnya, beliau mendapat didikan langsung dari orang tuanya beliau
adalah Al-Habib Abdullah bin Thalib al-Aththas dan asy-Syarifah Zaenah
Binti Ahmad AlKaf dalam bidang agama. Setelah dirasakan cukup menimba
ilmu dari ayahnya, beliau kemudian meneruskan menuntut ilmu kepada para
ulama besar yang ada di Hadramaut. Diantara para guru beliau adalah :
Nasab beliau yang mulia adalah
Setelah
ditempa oleh para ulama besar bahkan para Quthb yang ada di Hadramaut
saat itu, keinginan beliau untuk menuntut ilmu seakan tak pernah luntur
dan pupus. Hasrat beliau untuk menambah ilmu sedemikian hebat, sehingga
untuk itu beliau kemudian melakukan perjalanan ke kota Makkah. Beliau
banyak menjumpai ulama-ulama besar yang tinggal di kota Makkah saat itu.
Kesempatan baik ini tak beliau sia-siakan. Beliau berguru kepada
mereka. Diantara ulama-ulama besar yang menjadi guru beliau disana
adalah :
Beliau
Al-Habib Ahmad dengan giat dan tekun mengambil ilmu dari mereka.
Sehingga tak terasa sudah 12 tahun beliau jalani untuk menimba ilmu
disana. Beliau terus mengembangkan keilmuannya, sehingga kapasitas
beliau sebagai seorang ulama diakui oleh para ulama kota Makkah saat
itu.
Beliau kemudian dianjurkan oleh guru
beliau, As-Sayyid Al-Allamah Ahmad bin Zaini Dahlan, untuk memulai
terjun ke masyarakat, mengajarkan ilmu dan berdakwah. Mula-mula beliau
berdakwah di pinggiran kota Makkah. Beliau tinggal disana selama 7
tahun. Dalam kurun waktu itu, kegiatan dakwah selalu aktif beliau
lakukan disana.
Kemudian beliau berkeinginan
untuk melanjutkan perjalanan dakwah beliau ke Indonesia. Beliau sampai
disini diperkirakan sekitar tahun 1295-1300 H. Setibanya beliau di
Indonesia, beliau menuju ke kota Pekalongan dan menetap disana.
Di
kota Pekalongan beliau selalu aktif meneruskan kegiatan-kegiatan
dakwahnya. Beliau tidak ambil pusing dengan urusan-urusan duniawi. Semua
fikrah beliau semata ditujukan untuk kepentingan dakwah. Waktu beliau
selalu terisi dengan dakwah, ibadah, dzikir kepada Allah dan rajin
membaca ayat-ayat suci Al-Qur'an. Selain itu, ilmu beliau selalu tampak
bercahaya, terpancar melalui akhlak beliau yang mulia. Beliau selalu
berperilaku baik, penyayang dan lemah lembut terhadap sesama. Akan
tetapi itupun tidak meniadakan sikap beliau yang selalu ber-nahi
mungkar. Jika beliau melihat seseorang yang melakukan suatu
kemungkaran, beliau tidak segan-segan untuk menegurnya.
Perkataan-perkataan yang keluar dari mulut beliau, selalu beliau ucapkan
dengan shidq. Beliau tidak perduli terhadap siapapun jika ada hak-hak
Allah yang dilanggar di hadapan beliau. Sehingga berkat beliau, izzul
Islam wal Muslimin tampak terang benderang, menyinari kota Pekalongan.
Disamping
itu, dari sebagian jasa-jasa baik beliau, beliau membangun beberapa
masjid dan madrasah Salafiyah, yang berjalan pada thariqah para Salaf
beliau yang shaleh. Rumah beliau selalu penuh dengan tamu dan beliau
sambut dengan ramah-tamah. Inilah akhlak beliau yang mensuri-tauladani
akhlak dan perilaku Datuk-Datuk beliau.
Dalam amaliyah keseharian, sebagaimana yang ditulis dalam kitab “Taj Al-A’ras” karya
al-Habib al-Quthb Ali Bin Husein al-Aththas diceritakan, Habib Ahmad
tidak pernah meninggalkan sholat tahajud setiap harinya dan didalamnya
selalu membaca satu juz Al Qur’an dan satu juz lagi dibaca saat sholat
dhuha. Membaca ratib yang disusun Habib Umar Bin Abdurrahman Alatas dan
membaca wirid karangan habib Abdullah Al Haddad adalah pekerjaan setiap
pagi dan sore Habib Ahmad.
Rumah almarhum
sendiri, yang terletak di Jalan Haji Agus Salim 29, Pekalongan yang
bagian depannya menjadi Masjid Raudah dan tempat kegiatan keagamaan,
juga menampung ratusan para jamaah dari luar kota. Habib Bagir sendiri
merupakan generasi keempat penerus Habib Ahmad, setelah ayahnya Habib
Ahmad bin Ali Alatas, meninggal dunia hari Ahad, seminggu sebelum acara
khaul.
Sehari menjelang khaul, pada malam
harinya di Masjid Raudah diselenggarakan acara khatam shahih Bukhari,
salah satu mata pelajaran keagamaan yang diberikan kepada murid-muridnya
selama almarhum hidup. Imam Bukhari, yang lahir di Bukhara, Asia Tengah
(dulu bagian dari Uni Soviet), pada 194 H, selama 16 tahun telah
mengumpulkan ratusan ribu hadits. Kemudian ia menyaring hadits itu dan
hanya beberapa ribu saja yang dinilainya dapat dipercaya. Ketelitiannya
dalam periwayatan hadits, menyebabkan para ulama hadits belakangan
menempatkan kitab Sahih al-Bukhari sebagai peringkat pertama dalam
urutan kitab-kitab hadits yang muktabar.
Amar ma’ruf nahi munkar
Pada
puncak acara khaul, yang berlangsung setiap tanggal 14 Sya'ban,
dibacakan manakib atau riwayat hidup Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib
Alatas. Ia dilahirkan di kota Hajren, Hadramaut, Yaman, pada 1255
Hijriah atau 1836 Masehi. Setelah menguasai Alquran dan mendalami
dasar-dasar ilmu agama, ia melanjutkan menuntut ilmu kepada para pakar
dan ulama terkenal lainnya.
Kemudian, ia
menimba ilmu yang lebih banyak lagi di Mekkah dan Madinah. Sekalipun
mendapatkan tempaan ilmu dari berbagai ulama terkenal di kedua Kota Suci
itu, namun guru yang paling utama dan paling besar pengaruh didikan dan
asuhannya atas pribadi Habib Ahmad, adalah Assayid Ahmad Zaini Dahlan.
Yang belakangan ini, adalah seorang pakar ulama di Mekkah yang memiliki
banyak murid dan santrinya. Baik dari Mekah sendiri maupun negara-negara
Islam lainnya. Termasuk para tokoh ulama dan kiai dari Indonesia,
seperti Hadrotul Fadhil Mbah KH Kholil Bangkalan, Madura, dan Hadrotusy
Syaikh KH Hasyim Asy’ari, Jombang, Jatim, pendiri NU dan kakek dari
Presiden Abdurrahman Wahid. Di samping KH Murtadha, tokoh ulama Betawi
akhir abad ke-19.
Di antara murid atau orang
seangkatan Ahmad Zaini Dahlan di Mekkah adalah Imam Nawawi Al-Bantani,
seorang pemukiman Indonesia di Arab Saudi, pengarang kitab-kitab kuning.
Di antaranya Tafsir Munir, yang bukan saja dijadikan acuan oleh ahli
tafsir di Indonesia, tapi juga di hampir semua dunia Islam.
Setelah
usai dan lulus menempuh pendidikan dan latihan, terutama latihan
kerohanian secara mendalam, Habib Ahmad oleh guru besarnya itu
ditugaskan untuk berdakwah dan mengajar di Mekkah. Di kota kelahiran
Nabi ini, ia dicintai dan dihormati segala lapisan masyarakat, karena
berusaha meneladani kehidupan Rasulullah.
Setelah
tujuh tahun mengajar di Mekkah, ia kemudian kembali ke Hadramaut.
Setelah tinggal beberapa lama di kota kelahirannya, Habib Ahmad merasa
terpanggil untuk berdakwah ke Indonesia. Pada masa itu, sedang
banyak-banyaknya para imigran dari Hadramaut ke Indonesia, di samping
untuk berdagang juga menyebarkan agama.
Setibanya
di Indonesia, ia kemudian ke Pekalongan. Melihat keadaan kota itu yang
dinilainya masih membutuhkan dukungan pensyiaran Islam, maka tergeraklah
hatinya untuk menetap di kota tersebut. Saat pertama menginjakkan
kakinya di kota ini, ia melaksanakan tugas sebagai imam Masjid Wakaf
yang terletak di Kampung Arab (kini Jl Surabaya). Kemudian ia membangun
dan memperluas masjid tersebut.
Di samping
menjadi imam, di masjid ini Habib Ahmad mengajar membaca Alquran dan
kitab-kitab Islami, serta memakmurkan masjid dengan bacaan Daiba’i,
Barjanzi, wirid dan hizib di waktu-waktu tertentu, sehingga semakin
marak jama’ah Masjid Wakaf sejak kehadiran Habib Ahmad.
Beliau juga dikenal sebagai hafidz (penghapal Alquran). Ilmu
Habib Ahmad memang sangat luas, namun ilmu itu bukan sekedar dikuasai
dan tidak diamalkan. Selain diamalkan, Habib Ahmad tidak pernah
menyombongkan ilmunya, melainkan selalu tampil dengan rendah hati, suka
bergaul, jujur, sabar, istiqomah dan disiplin dalam menjalankan agama.
Melihat
suasana pendidikan agama waktu itu yang sangat sederhana, maka Habib
Ahmad tergerak untuk mendirikan Madrasah Salafiyah, yang letaknya
berseberangan dengan Masjid Wakaf. Begitu pesatnya kemajuan Madrasah
Salafiyah waktu itu, hingga banyak menghasilkan ulama-ulama. Madrasah
ini, yang didirikan lebih sekitar satu abad lalu, menurut Habib Abdullah
Bagir, merupakan perintis sekolah-sekolah Islam modern, yang kemudian
berkembang di kota-kota lain.
Menurut sejumlah
orang tua di kota Pekalongan, berdasarkan penuturan ayah atau mereka
yang hidup pada masa Habib Ahmad, habib ini selalu tampil dengan rendah
hati (tawadhu), suka bergaul, dan marah bila dikultuskan.
Kendati
demikian, kata cicitnya Habib Abdullah Bagir, ”Beliau tidak dapat
mentolerir terhadap hukum-hukum dari Allah atau melihat orang yang
meremehkan soal agama.” Seperti menegakkan amar ma’ruf nahi munkar.
Menurut Bagir, kakeknya ibarat Khalifah Umar bin Khatab, yang
tegas-tegas menentang setiap melihat kemungkaran. Tidak peduli yang
melakukannya itu orang awam atau pejabat tinggi.
Sebagai
contoh disebutkan, para wanita, tidak akan berani lalu lalang di depan
kediamannya tanpa mengenakan kerudung atau tutup kepala. Tidak peduli
wanita Muslim, maupun wanita Cina dan Belanda, menggunakan tutup kepala
bila lewat di tempat kediamannya. Pernah seorang isteri residen
Pekalongan, dimarahi karena berpapasan dengannya tanpa menggunakan tutup
kepala. Cerita-cerita yang berhubungan dengan tindakan Habib Ahmad ini
sudah begitu tersebar luas di tengah masyarakat Pekalongan. Bahkan,
setiap perayaan yang menggunakan bunyi-bunyian seperti drumband, mulai
perempatan selatan sampai perempatan utara Jl KH Agus Salim, tidak
dibunyikan karena akan melewati rumahnya. Ia juga sangat keras terhadap
perjudian dan perzinahan, sehingga hampir tidak ada yang berani
melakukannya di kota ini, saat beliau masih hidup.
Keberaniannya
dalam menindak yang munkar itu, rupanya diketahui oleh sejumlah
sahabatnya di Hadramaut. ”Saya heran dengan Ahmad bin Thalib Alatas yang
dapat menjalankan syariat Islam di negeri asing, negeri jajahan lagi,”
kata Habib Ahmad bin Hasan Alatas, seorang ulama dari Hadramaut.
Sikap
inilah yang membuatnya menjadi tokoh yang diperhitungkan. Sebaliknya,
beliau menangis bila mengingat bahwa kelak kita akan menjadi penghuni
kubur. Sebab umur kita pendek, dan hidup di dunia ini lebih banyak
tipuan. Beliau juga dikenal sebagai orang yang luas ilmunya, sehingga
menguasai permasalahan yang ada di masyarakat. Dalam kehidupan
sehari-hari, beliau sangat sopan dan dicintai banyak orang. Beliau
memberikan teladan, sangat kuat amalannya, baik yang wajib maupun yang
sunah.
Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib
Al-Atthas dikenal dengan keketatannya pada kaidah pakaian wanita muslim.
Orang-orang di kota Pekalongan tahu betul akan hal itu, dan para
wanitanya tidak pernah berani berjalan di antara rumahnya dan masjid
tanpa menutupi tubuhnya secara ketat.
Pada suatu hari, seorang
wanita asing berpakaian impor, yang tampaknya tak memahami keadaan ,
berjalan di lokasi itu tanpa menutup kepala. Ia berpapasan dengan Habib
Ahmad bin Abdullah bin Thalib Al-Atthas, dan tiba-tiba sang sufi memukul
wanita itu dengan tongkatnya.
Bagi Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib Al-Atthas, itu merupakan kewajiban yang harus beliau lakukan.
Orang-orang
mengerumuni wanita itu dan menjelaskan situasinya, meminta ia melupakan
kejadian itu. Namun, wanita tersebut mengadukan hal itu ke kantor
polisi yang di kepalai seorang Belanda. Kepala polisi memerintahkan para
pembantu polisi Jawa yang muslim untuk menangkap Habib Ahmad bin
Abdullah bin Thalib Al-Atthas. Mereka tahu betul siapa Sufi tersebut,
dan memilih menolak perintah kepala polisi Belanda itu.
Si
kepala polisi menjadi tertarik dan pergi ke rumah Habib Ahmad bin
Abdullah bin Thalib Al-Atthas sendiri. Namun ia kembali dan tidak
melakukan apapun.
“Pada mulanya saya mau
menangkap Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib Al-Atthas. Tapi saya
melihat dua ekor Harimau berada di sebelah kanan dan kirinya.” Kata kepala polisi kepada anak buahnya.
Wara dan Zuhud
Beliau
dikenal sebagai orang yang sangat wara dan zuhud. Beliau terpelihara
dengan peliharaan yang agung, terjaga dengan penjagaan yang sempurna,
sehingga tidak masuk pada dirinya sesuatu yang dapat mengotorinya.
Jika
akan datang sesuatu itu kepadanya, beliau mendapatkan
penjelasan-penjelasan ilahiyah : mengetahuinya atau diberi tahu baik
dalam keadaan terjaga maupun tidur. Demi kehati-hatian pula beliau tak
mau menerima sesuatu dari seseorang kecuali dari orang yang baik
pergaulannya dan benar niatnya.
Selama
bertahun-tahun beliau tinggal dalam kehidupan yang susah,memakan makanan
yang sangat sederhana dan tidak ingin bersenang-senang menikmati
kehidupan kecuali sekedar untuk menopang kebutuhan hidup. Suatu ketika
beliau menitipkan uang dalam jumlah yang besar kepada seseorang,
kemudian uang itu hilang semuanya, ketika diberi tahu beliau hanya
tertawa sedikitpun tidak menunjukkan perubahan dan sama sekali tidak
terpengaruh dengan kejadian itu.
Beliau juga
tidak suka bergurau baik dalam perbuatan maupun ucapan dan selalu
menghindari gurauan dalam semua majelisnya, sehingga yang ada didalam
majelisnya hanyalah kesungguh-sungguhan. Aib orang tidak pernah disebut
dalam majelisnya, dan tidak ada pelanggaran terhadap hal-hal yang
dilarang, majelisnya sepenuhnya merupakan majelis ilmu, petunjuk,
dzikir, peringatan, dan da’wah.
Hatinya yang
jernih membuatnya diberikan anugerah dapat memberitakan hal-hal yang
ghaib. Beliau memiliki karamah-karamah yang besar yang menguatkan
usahanya yang mulia untuk meraih keridhoan Allah SWT, namun beliau tidak
mau membicarakannya sedikit pun. Pada suatu hari karena suatu urusan
seorang pencintanya dimasukan ke penjara, kemudian beliau diberi tahu,
‘fulan pencinta Habib ditahan, semoga Allah membebaskannya.” Mendengar
itu beliau berkata,’hari ini ia akan makan siang bersama kita!”. Ketika
jamuan makan siang dihidangkan hari itu, ternyata pencintanya itu
benar-benar datang, makan siang bersama mereka karena telah bebas dari
penjara.
Orang mengenal beliau sebagai sosok
yang bagus ahklaknya, mulia perangainya, penyayang, dan belas kasih
kepada sesama. Beliau orang yang baik dalam bersahabat, menyenangkan
dalam bergaul dan tidak mengerjakan atau mengucapkan sesuatu kecuali
yang diizinkan oleh syara’. Namun apabila larangan-larangan Allah
dilanggar beliau sangat marah dan marahnya belum reda sampai beliau
dapat mengubah kemungkaran itu dengan tangannya.
Beliau
adalah seorang yang adil, tidak melampaui batas, mengetahui hak-hak dan
kewajiban-kewajibannya, beliau tidak lalai dari hak orang terhadap
dirinya, tetapi toleran dalam hak-hak dirinya dan menggugurkannya dari
orang lain dan tidak memandang bahwa dirinya memiliki hak terhadap orang
lain.
Habib
Ahmad yang kegiatan sehari-hari lebih banyak di Masjid Wakaf, Jl
Surabaya, pada akhir hayatnya mengalami patah tulang pada pangkal
pahanya, akibat jatuh, hingga tidak dapat berjalan. Sejak itu ia
mengalihkan kegiatannya di kediamannya, termasuk shalat berjamaah dan
pengajian.
Ketika telah sempurna waktu
yang dibatasi baginya dalam kehidupan dunia dan telah sampai puncak
keinginan, beliau pun rindu pada alam malakut yang tertinggi, beliau
menderita demam. Ketika berada dalam sakitnya beliau tenggelam dalam
arus lautan makrifattullah, terkadang beliau mengatakan “Ash-shalah
ash-shalah (shalat,shalat), dekatkanlah air wudhuku.”Itu berlangsung
selama 20 hari 20 malam, hingga ruhnya berpisah dengan jasadnya yang
suci pada malam ahad tanggal 24 Rajab tahun 1347 Hijriyah (6 januari
1929) Inna lillahi wa ilaihi raji’un,
dalam usia 92 tahun, dan dimakamkan di pekuburan Sapuro, Kodya
Pekalongan. Namun peringatan khaulnya diselenggarakan setiap tanggal 14
Sya’ban, bersamaan dengan malam Nifsu Syaban, yang tiap tahun dihadiri
ribuan orang, tidak jarang dari luar negeri, seperti Singapura,
Malaysia, dan Brunei Darussalam. Masyarakat
berbondong-bondong mengiringi kepergian beliau menghadap Allah. Derai
keharuan sangat terasa, membawa suasana syahdu...
Selang
setahun kepergian beliau, untuk menghidupkan kembali kesuri-tauladan
dan mengenang jasa-jasa baik beliau, setiap tahun di kota tersebut
diadakan Haul beliau. Haul tersebut banyak dihadiri oleh berbagai
kalangan umat Islam. Mereka berduyun-duyun dari berbagai kota hadir
disana, demi mengenang kehidupan beliau...demi menjemput datangnya
nafaahat dan imdaadat.
Radhiyallahu anhu wa ardhah...
--------------------------------------------------------------------------------
[Disarikan dari Ulama Pembawa Islam di Indonesia dan Sekitarnya, Muhammad Syamsu Assegaf dan dari berbagai sumber lainnya]
"Luas, agung dan mulia budi pekerti para salaf kita.
Dalam thoriqohnya, takkan kau dapati perselisihan atau sengketa"
|
Komentar
Posting Komentar